Senin 04 Nov 2019 14:07 WIB

Pascaserangan Israel, Warga Gaza Krisis Obat-obatan

Tak jarang membuat para dokter melakukan tindakan medis darurat tanpa obat bius.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
 Para pengunjuk rasa Palestina berlindung dari gas air mata yang ditembakkan oleh pasukan Israel selama protes di perbatasan Jalur Gaza dengan Israel, sebelah timur Khan Younis, Jalur Gaza.
Foto: AP Photo/Adel Hana
Para pengunjuk rasa Palestina berlindung dari gas air mata yang ditembakkan oleh pasukan Israel selama protes di perbatasan Jalur Gaza dengan Israel, sebelah timur Khan Younis, Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascaserangan tentara Israel selama dua hari berturut-turut ke Gaza, sejumlah rumah sakit di jalur Gaza tempat evakuasi para korban mengalami krisis obat-obatan. Krisis ini terjadi lantaran minimnya akses jalur terbuka yang diblokade Israel sejak 2006.

Aktivis dan relawan asal Indonesia yang bertugas di jalur Gaza, Abdillah Onim, menyampaikan, meski seluruh warga yang menjadi korban keganasan tentara Israel telah ditangani di sejumlah rumah sakit sekitar, namun ketersediaan obat-obatan masih sangat mendesak.

Baca Juga

"Krisis obat-obatan di rumah sakit ini bukan saja dikeluhkan oleh relawan dan aktivis, tapi juga dari Kementerian Kesehatan Palestina," kata Onim saat dihubungi Republika.co.id, Senin (4/11).

Onim membeberkan terdapat beberapa rumah sakit yang menjadi tempat rujukan evakuasi warga yang menjadi korban penyerangan Israel selama dua hari itu. Rumah sakit tersebut antara lain RS As-Syifa, RS Gaza City, RS Gaza Tengah, RS Indonesia, RS An-Nasr, dan RS Gaza Selatan.

Keseluruhan rumah sakit ini krisis obat-obatan mendesak seperti cairan infus, cairan pembius, hingga kantong-kantong darah bagi kebutuhan medis mendesak. Minimnya obat-obatan itu tak jarang membuat para dokter melakukan tindakan medis darurat tanpa menggunakan obat bius kepada pasien.

"Kami dapat laporan dari sejumlah tim dokter dari berbagai rumah sakit, terpaksa diambil tindakan medis tanpa obat bius. Saking krisisnya (obat-obatan)," kata Onim.

Berdasarkan catatannya yang dihimpun dari berbagai data rumah sakit yang menangani pasien korban serangan Israel, terdapat 95 orang yang mengalami luka, 9 orang mengalami luka parah, dan 1 orang dinyatakan tewas.

Menurutnya, serangan terhadap warga Gaza oleh Israel bermula dari aksi demonstrasi terkait perjanjian Balfour, Jumat (1/11).

Perjanjian Balfour merupakan sebuah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah Britania saat Perang Dunia I yang mengumumkan dukungan dan klaim pendirian tanah air bagi orang Yahudi di Palestina. Di mana wilayah tersebut saat itu merupakan sebuah kawasan Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi.

Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai menjadi rusuh setelah tentara Israel menembakkan peluru mematikan ke arah demonstran. Tak hanya itu, tentara Israel juga menyapu para demonstran dengan senjata tajam. Melihat masifnya korban-korban yang berjatuhan, para pejuang Palestina membalas serangan tentara Israel dengan menembakkan roket yang tak lama kemudian dibalas bombardir oleh Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement