REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengulangi seruan agar proses repatriasi pengungsi Rohingya dapat segera berlangsung dan dilakukan secara aman, bermartabat, serta sukarela. Dia mendesak Myanmar secara aktif terlibat dan mempromosikan proses rekonsiliasi nasional.
Hal itu untuk membantu menciptakan kondisi yang diperlukan agar para pengungsi Rohingya dapat kembali secara sukarela dan damai. Tanpa adanya kondisi yang aman dan kondusif, repatriasi secara sukarela tidak akan dapat terjadi.
"Di negara bagian Rakhine, kita memiliki komunitas Rakhine dan komunitas Rohingya. Sangat penting menciptakan kondisi yang kondusif bagi rekonsiliasi di mana ujaran kebencian dan bentuk kebencian lainnya dapat menghilang," ujar Guterres di sela KTT ASEAN ke-35 di Bangkok, Thailand, Senin (4/11), dikutip Bangkok Post.
Dia melihat ASEAN telah meningkatkan keterlibatannya dalam masalah ini. PBB menyambut baik hal tersebut. Guterres juga mengapresiasi keputusan ASEAN membentuk gugus tugas untuk menangani krisis Rohingya.
Guterres secara khusus memuji keterlibatan aktif Indonesia yang berkelanjutan dalam penanganan krisis Rohingya. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan terdapat beberapa isu yang dibahas dalam KTT ASEAN ke-35 yang dihelat di Bangkok, Thailand. Satu yang paling menonjol atau disorot adalah perihal situasi di Rakhine, Myanmar.
"Rata-rata para pemimpin ASEAN mendorong agar kemajuan dapat terus terjadi. Repatriasi (pengungsi Rohingya) yang sukarela, aman, bermartabat dapat segera dilaksanakan dan ASEAN menyatakan kembali kesiapannya untuk membantu," kata Retno.
Dalam konteks ini, ASEAN telah sepakat membentuk gugus tugas ad hoc yang akan memantau pelaksanaan rekomendasi dari Preliminary Need Assessment (PNA) Team. "Maret sudah ada rekomendasi dari PNA, kemudian Oktober kemarin sudah bertemu technical working group dan menghasilkan beberapa prioritas yang akan ditindaklanjuti untuk membantu persiapan repatriasi," kata Retno.
Menurut dia, ASEAN memang perlu memiliki satuan tugas yang dapat memantau secara penuh implementasi rekomendasi PNA. Oleh karena itu, para pemimpin ASEAN sudah menyepakati akan dilakukan pendirian ad hoc task force. "Bapak Presiden sudah menyatakan siap memberikan kontribusi agar ad hoc task force dapat segera berdiri," ujarnya.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.