REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina pada Senin (4/11) meluncurkan sejumlah kebijakan yang menawarkan lebih banyak peluang bisnis dan penanaman modal atau investasi untuk perusahaan Taiwan.
Namun, otoritas Taiwan mengingatkan rakyatnya kebijakan China itu merupakan "godaan" menjelang pemilihan 'presiden' pada Januari 2020. Sejak Taiwan dipimpin oleh Tsai Ing-wen pada 2016, pemerintah China meningkatkan tekanan terhadap wilayah otonom dengan pemerintahan demokratis itu. China mengklaim Taiwan merupakan bagian dari negeri Tirai Bambu.
Tekanan itu diberikan karena pemerintah China khawatir terhadap rencana Tsai Ing-wen yang ingin Taiwan merdeka secara resmi. Demi meningkatkan pengaruh, Beijing membidik perusahaan di Taiwan untuk berbisnis di Cina. Bahkan, pihak Beijing memaksa perusahaan-perusahaan asing untuk menuliskan dalam laman mereka bahwa Taiwan merupakan bagian dari Cina.
Selain itu, jet tempur Cina juga kerap berpatroli di wilayah udara Taiwan. Walaupun demikian, otoritas Taiwan menduga peluang bisnis yang ditawarkan Cina dilatari kepentingan politik.
Dalam kebijakan terbarunya, Cina mengizinkan perusahaan Taiwan berinvestasi atau berpartisipasi dalam proyek pengembangan teknologi komunikasi 5G. Investor Taiwan juga diperkenankan menanamkan modal di sektor penerbangan sipil.
Tidak hanya itu, perusahaan Taiwan diperbolehkan menerbitkan obligasi untuk meningkatkan permodalan, kata perwakilan Pemerintah Cina untuk Taiwan dalam pernyataan tertulisnya.
Selain ragam peluang bisnis, pemerintah China akan memudahkan warga Taiwan untuk tinggal dan bekerja di Negeri Tirai Bambu. Bahkan, Cina menawarkan warga Taiwan di luar negeri untuk mendapatkan layanan konsuler dari Kedutaan Besar Cina, meskipun pada praktiknya, Cina menganggap warga Taiwan sebagai rakyat Cina.
Walaupun demikian, perwakilan otoritas Taiwan untuk Cina daratan mengatakan langkah Beijing merupakan upaya "mendorong penyatuan, memikat rakyat Taiwan, dan berusaha memecah-belah dari dalam, dan kebijakan itu merupakan upaya memengaruhi pemilihan presiden di Taiwan". Siapa pun yang memilih berbisnis di Cina perlu menyadari risiko serta "perbedaan sistem" dua wilayah, kata dewan otoritas Taiwan.
Sejak dua pihak sepakat untuk berdamai pada 1980an, banyak perusahaan Taiwan berbisnis di Cina karena biaya operasional rendah serta persamaan bahasa dan budaya. Bagi pemerintah China, kebijakan yang diluncurkan untuk warga dan perusahaan Taiwan murni didorong keinginan membantu mereka.
Akan tetapi, otoritas pimpinan Tsai Ing-wen khawatir Cina akan "menyerap sumber daya Taiwan" dan membangkitkan kembali sentimen pro Cina di pulau berotonomi itu. Pengaruh Cina diyakini dapat mendorong warga memilih partai yang bersahabat dengan pemerintah China.
China terus menekan Tsai dengan merebut mitra diplomatik Taiwan, di antaranya Kepulauan Solomon dan Kiribati. Tsai berencana mencalonkan diri kembali pada pemilihan 'presiden' Januari 2020.
Tsai mengatakan dia tidak membiarkan pihaknya terus dirundung Beijing, dan petinggi Taiwan itu akan terus menjaga keamanan serta sistem demokrasi di wilayahnya.