REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) telah memulai proses menarik diri dari perjanjian iklim Paris 2015. Hal itu dinilai menjadi kesalahan bersejarah dalam pemerintahan Donald Trump.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, telah mengajukan pemberitahuan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (4/10). Pengajuan surat itu memulai proses penarikan AS dari perjanjian iklim Paris yang membutuhkan waktu selama setahun. Pernyataan Pompeo menyoal pengurangan polusi karbon yang dilakukan AS dan menyebut kesepakatan Paris sebagai beban ekonomi yang tidak adil bagi ekonomi AS.
"Dalam diskusi iklim internasional, kami akan terus menawarkan model yang realistis dan pragmatis, didukung oleh catatan hasil dunia nyata, menunjukkan inovasi dan pasar terbuka mengarah pada kemakmuran yang lebih besar, lebih sedikit emisi, dan sumber energi yang lebih aman," kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Pompeo mengatakan emisi gas rumah kaca AS turun 13 persen dari 2005 hingga 2017 Bahkan, menurutnya, itu dapat dilakukan ketika ekonomi AS tumbuh lebih dari 19 persen.
Proses penarikan dengan surat yang dikirimkan langsung ke PBB tersebut membuat AS menjadi satu-satunya negara yang mundur dari perjanjian iklim. Wakil juru bicara PBB Farhan Haq mengatakan, PBB akan segera menetapkan perincian prosedural untuk langkah selanjutnya.
Hampir 200 negara menandatangani kesepakatan iklim Paris. Masing-masing negara membuat tujuannya sendiri untuk mengurangi emisi gas yang berdampak pada perubahan iklim. Kesepakatan tersebut mencegah negara-negara yang terlibat untuk menarik diri dalam tiga tahun pertama setelah ratifikasi 4 November 2016. Oleh karena itu, penarikan AS tidak bisa dilakukan secara seluruhnya sampai setelah pemilihan 2020.
Presiden AS Donald Trump telah menjanjikan penarikan selama dua tahun, tetapi, baru Senin ini menjadi pertama kalinya dia membuktikan ucapannya. Keputusan Trump dikecam sebagai kegagalan kepemimpinan yang ceroboh oleh para pakar lingkungan, aktivis, dan kritikus.
"Donald Trump adalah presiden terburuk dalam sejarah untuk iklim kita dan udara dan air bersih kita," kata direktur eksekutif Sierra Club Michael Brune. Dia menyatakan, setelah Trump keluar dari jabatannya, keputusan itu akan menjadi langkah AS yang akan dipandang sebagai kesalahan bersejarah.
Perjanjian Paris menetapkan sasaran untuk mencegah pemanasan 0,5 derajat Celcius hingga 1 derajat Celcius dari tingkat saat ini. Bahkan perjanjian yang dibuat pada 2015 itu tidak cukup untuk mencegah tingkat pemanasan tersebut.
Kesepakatan itu menyerukan agar negara-negara yang terlibat melakukan pengurangan polusi yang lebih besar setiap lima tahun, dimulai pada November 2020. Dengan penarikan AS, peran negara itu dalam negosiasi 2020 akan berkurang.
Perubahan iklim, sebagian besar disebabkan oleh pembakaran batu bara, minyak, dan gas. Proses tersebut telah menghangatkan dunia 1 derajat Celcius sejak akhir 1800-an.
Kondisi itu menyebabkan pencairan besar-besaran es secara global, memicu cuaca ekstrem, dan mengubah kimia di laut. Para ilmuwan mengatakan, kondisi akan memburuk tergantung pada berapa banyak karbon dioksida yang dipancarkan.
Trump telah berjanji untuk menarik diri dari kesepakatan Paris sejak 2017. Dia sering salah mengidentifikasi syarat-syarat perjanjian, yang bersifat sukarela. Padahal target tersebut dibuat untuk kepentingan negara, seperti tujuan AS yang ditetapkan di bawah Presiden Barack Obama adalah untuk mengurangi emisi karbon dioksida pada 2005 sebesar 26 persen pada 2025 menjadi 28 persen, dan itu hanya 15 persen sejak 1990.
Bandingkan dengan tujuan Uni Eropa adalah untuk mengurangi polusi karbon pada 2030 hingga 40 persen. Sasaran itu dibandingkan dengan tingkat 1990, lebih besar dari AS. Profesor Universitas Stanford dan ketua Global Carbon Project Rob Jackson menyatakan, bahkan Inggris telah melampaui tujuan itu.
Banyak kritikus dari perjanjian Paris mengatakan AS adalah pemimpin dalam memotong emisi karbon, tetapi itu tidak benar. Sejak 2005, AS tidak berada dalam 10 persen teratas dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Jackson mengatakan, justru Inggris, Prancis, Swedia, Spanyol, Portugal, Italia, Irlandia, Hongaria, Yunani, Republik Ceko, dan negara-negara lain telah melakukan lebih baik.
Selain itu, kepala pusat hukum perubahan iklim Columbia Law School Michael Gerrard menyanggah klaim Pempeo yang mendengungkan penurunan emisi gas rumah kaca. Alasan penurunan emisi jangka panjang adalah karena AS menggunakan lebih sedikit batubara dan memperketat standar kualitas udara. Sementara Trump saat ini justru mendorong lebih banyak batubara dan melonggarkan standar itu.
"Pengabaian pemerintahan Trump atas perubahan iklim memberi negara-negara lain alasan untuk tidak bertindak juga," ujar Gerrard.
Akan banyak negara yang mempertanyakan kedudukan AS sebagai negara yang paling berkontribusi terhadap muatan gas rumah kaca di atmosfer, tetapi, tidak mau bertindak. "Jika seseorang selain Donald Trump terpilih, dia hampir pasti akan bergabung kembali dengan Paris, dan seluruh dunia akan menyambut kita kembali dengan tangan terbuka," ujar Gerrard.