REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Kesepakatan antara pemerintah Yaman dan separatis di Riyadh, Arab Saudi belum memastikan perdamaian di negeri Timur Tengah itu. Pakar dari International Crisis Group April Longley mengatakan kesepakatan tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang positif tapi masih terlalu dini untuk mengetahuinya.
"Skenario terbaiknya, akan mengakhiri kekerasan dan membuka negosiasi insklusif antara berbagai pihak di Yaman yang mana separatis selatan juga hadir," kata Longley, Rabu (6/11).
Namun, beberapa pihak cukup positif dengan kesepakatan tersebut. Hal itu seperti utusan khusus PBB untuk Yaman Martin Griffiths yang yakin kesepakatan menjadi langkah yang penting untuk mengakhiri kekerasan di negeri yang dilanda perang sipil tersebut.
"Mendengar pemangku kebijakan di selatan adalah upaya politik penting untuk meraih perdamaian di negeri ini," katanya.
Begitu pula dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ia bersikeras untuk memasok senjata dan memberikan bantuan intelijen ke Arab Saudi dalam perang Yaman walaupun ditentang oleh Kongres.
"Awal yang sangat bagus! Mari semua bekerja keras untuk meraih kesepakatan akhir," cicitnya di Twitter.
Pemerintah Yaman telah menandatangani kesepakatan dengan separatis yang bermarkas di selatan negara itu. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengakhiri pertempuran yang terjadi selama berbulan-bulan.
Kesepakatan tersebut diperantarai oleh Arab Saudi. Utusan Arab Saudi untuk Yaman mengatakan kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan setelah menggelar perundingan selama lebih dari satu bulan.
Kelompok separatis yang menamai diri mereka Southern Transitional Council (STC) setuju untuk masuk dalam kabinet pemerintah. Seluruh angkatan bersenjata akan dikuasai oleh pemerintah.
"Kesepakatan ini akan terbuka, Insya Allah, perundingan antara berbagai pihak Yaman telah meraih solusi politik dan mengakhiri perang," kata Putra Mahkota Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman, dalam pidatonya yang disiarkan televisi.
Sejak 2015 baik pemerintah Yaman maupun separatis di selatan, bagian dari koalisi yang dipimpin Arab Saudi dalam memerangi kelompok Houthi. Tapi pada bulan Agustus lalu separatis yang didukung Uni Emirat Arab merebut kota Aden dari pasukan yang didukung Arab Saudi.
Dilansir dari BBC, PBB mengatakan kesepakatan tersebut menjadi langkah penting untuk mengakhiri perang Yaman yang menurut mereka telah memakan korban 7.000 rakyat sipil. Organisasi kemanusiaan yakin total korban jiwa jauh lebih besar lagi.
Pada pekan lalu Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED), organisasi penyedia data yang bermarkas di AS mengatakan korban jiwa dalam perang Yaman telah mencapai 100 ribu jiwa termasuk 12 ribu warga sipil. Perang Yaman juga memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Seperlima dari total populasi atau 24 juta orang membutuhkan kemanusiaan atau perlindungan. Mereka termasuk 10 juta orang yang bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Kelompok separatis ingin memerdekakan Yaman selatan. Wilayah itu memang negara terpisah sebelum unifikasi pada 1990. Separatis membentuk aliansi dengan pemerintahan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi untuk mencegah Houthi merebut Aden.
Lalu dengan dukungan pasukan koalisi Arab Saudi mereka berhasil mendorong pemberontak wilayah itu mundur. Aden pun menjadi markas sementara kabinet Presiden Hadi.
Namun pada bulan Agustus separatis STC berbalik menyerang pemerintah Hadi. Menurut mereka Hadi telah salah mengelola pemerintahan dan mereka juga mengkritik kedekatannya dengan kelompok Islam.
Beberapa hari kemudian terjadi pertempuran, pasukan milisi bersekutu dengan STC dan merebut Aden dari pasukan yang loyal kepada pemerintah. Ketika pemerintah mencoba merebut kembali kota itu, Uni Emirat Arab menggelar serangan udara.
Arab Saudi menengahi perjanjian sebelum menggelar pembicaraan yang akhirnya menghasilkan kesepakatan Riyadh. Dalam kesepakatan tersebut disebutkan pemerintah harus membentuk kabinet baru dalam 30 hari ke depan.
Jumlah orang selatan dan utara harus seimbang dalam kabinet baru itu. STC juga diizinkan bergabung dalam perundingan untuk mengakhiri perang yang dimediasi PBB.