Rabu 06 Nov 2019 22:42 WIB

Sudan Minta Dihapus dari Daftar Teroris

Penghapusan dari daftar teroris akan membantu Sudan jalani masa transisi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Agung Sasongko
Demonstrasi siswa di Sudan
Foto: Sudanese Congress Party via AP
Demonstrasi siswa di Sudan

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Perdana menteri Sudan yang baru berulang kali meminta negara-negara Barat mencabut negaranya dari daftar negara teroris. Ia mengatakan itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan negara yang sedang menjalani transisi demokrasi dari krisis ekonomi.

Pejabat Sudan yang tidak disebutkan namanya mengatakan pemerintahnya sudah memperingatkan negara-negara Barat. Lambatnya respon atas permintaan tersebut dan 'janji kosong' mereka dapat memperlemah pemimpin sipil Sudan yang baru diterpilih tiga bulan lalu.

Baca Juga

"Negara-negara Barat tidak mengambil langkah konkrit untuk membantu Sudan, apa yang sekarang kami lihat hanya kata-kata tidak ada tindakan, mereka mengajukan permintaan yang mungkin butuh waktu bertahun-tahun perlu diatasi," kata pejabat yang disebut salah satu menteri pemerintahan Sudan, Rabu (6/11).

Pada bulan September, Perdana Menteri Abdallah Hamdok mengatakan ia mengharapkan ada 'terobosan besar; yang mengarah dihapusnya Sudan dari daftar negara yang dianggap mensponsori terorisme. Dengan begitu Sudan dapat menerima bantuan asing.

Tapi sejauh ini Sudan masih masuk dalam daftar yang dibuat AS tersebut. Hamdok pun beralih ke dua kerajaan monarki di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Bantuan dua negara tersebut dapat menjaga anggaran pemerintahan Sudan.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab diketahui mendanai pemerintahan yang dikuasai militer di Mesir, Libya dan sebelumnya Sudan. AS sudah memasukan Sudan sebagai sponsor teroris sejak tahun 1993. Mereka tetap berada di daftar itu sepanjang pemerintahan diktakor Omar al-Bashir.

Sejak Januari 2017 AS mulai memproses penghapusan Sudan dari daftar tersebut. Tapi prosesnya ditahan karena unjuk rasa besar-besaran yang akhirnya menggulingkan al-Bashir. Protes yang memaksa militer berbagi kekuasaan dengan rakyat sipil.

Pejabat yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan pejabat AS dan Eropa telah menetapkan kondisi yang mencakup perjanjian damai dengan kelompok pemberontak di Sudan. Mereka juga menetapkan peran pasukan keamanan dalam masa transisi.

Dalam kunjungan deligasi Sudan ke Jerman pekan lalu ada pejabat tinggi Berlin yang mendesak penjelasan peran pasukan keamanan negeri itu. Terutama pasukan paramiliter Rapid Support Forces.

Unit pasukan itu ditakuti milisi Janjaweed dalam konflik Darfur pada tahun 2000-an. Paramiliter ini dipimpin Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo dan salah satu pasukan yang membantu koalisi Arab Saudi dalam perang Yaman. 

Pejabat Sudan yang menghadiri pertemuan di Jerman itu mengatakan Direktur Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman bagian Sub-Sahara Afrika Stefan Oswald mengatakan kepada deligasi Sudan penting untuk 'membangun kepercayaan' tentang bagaimana dana bantuan digunakan. Ia juga menyinggung tentang 'lubang hitam', yang mengacu pada pengaruh pasukan keamanan yang melayani rezim al-Bashir.

Kementerian Jerman menolak untuk memberikan komentar dalam pertemuan tersebut. Hamdok mengandalkan Washington untuk menghapus Sudan dari daftar negara teroris.

Bila dihapus dari daftar itu maka Sudan dapat mengajukan pinjama ke International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Para ekonom terkemuka mengatakan Sudan membutuhkan bantuan asing sebesar 8 miliar dolar AS selama dua tahun ke depan dan 2 miliar dolar AS lagi untuk didepositokan sebagai cadangan demi menopang nilai mata uang mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement