REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Biro Pendidikan Hong Kong telah memutuskan untuk menghentikan aktivitas belajar mengajar di semua sekolah di sana pada Kamis (14/11). Hal itu dilakukan karena alasan transportasi dan keselamatan.
Biro Pendidikan Hong Kong enggan mengambil risiko dan menempatkan para pelajar dalam situasi bahaya menyusul masih merebaknya demonstrasi. Mereka mendesak para pengunjuk rasa menghentikan semua tindakan kekerasan.
Unjuk rasa di Hong Kong masih terus berlanjut pada Rabu (13/11). Massa berusaha melumpuhkan bagian-bagian dari pusat keuangan dan beberapa jaringan transportasi. Selain sekolah, banyak aktivitas bisnis telah terhenti akibat aksi demonstrasi tersebut.
Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah mengecam aksi kekerasan dan perusakan yang dilakukan para demonstran di wilayahnya. Dia menyatakan mereka yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi selama hampir tujuh bulan terakhir merupakan musuh rakyat.
"Kekerasan telah jauh melampaui seruan dan para demonstran sekarang menjadi musuh rakyat," kata Lam pada Selasa lalu.
Dia menegaskan tidak akan memenuhi tuntutan politik massa pengunjuk rasa. "Saya membuat pernyataan ini jelas dan keras; itu tidak akan terjadi," ujarnya.
Aksi demonstrasi di Hong Kong telah berlangsung sejak Juni lalu. Hingga kini, belum ada tanda-tanda unjuk rasa akan mereda.
Pemicu utama pecahnya demonstrasi di Hong Kong adalah rancangan undang-undang ekstradisi (RUU). Masyarakat menganggap RUU itu merupakan ancaman terhadap independensi proses peradilan di sana.
Sebab, jika disahkan RUU itu memungkinkan otoritas Hong Kong mengekstradisi pelaku kejahatan atau kriminal ke Cina daratan. Hong Kong telah secara resmi menarik RUU tersebut. Namun hal itu tak serta merta menghentikan aksi demonstrasi.
Massa mendesak Lam mundur dari jabatannya karena dinilai terlalu lekat dengan Pemerintah Cina. Mereka pun mendesak otoritas Hong Kong menyelidiki aksi kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para pendemo.