Rabu 13 Nov 2019 16:36 WIB

Polusi Udara di Afghanistan Lebih Berbahaya Dibanding Perang

Polusi udara di Afghanistan menewaskan anak-anak Afghanistan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Masyarakat Kota Kabul, Afghanistan hidup bersama polusi udara, ilustrasi
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Masyarakat Kota Kabul, Afghanistan hidup bersama polusi udara, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Delapan tahun yang lalu karena perang, Yousuf dan keluarganya melarikan diri ke timur Afghanistan. Tapi ia tidak bisa melarikan diri dari tragedi. Di ibukota Kabul lima anaknya meninggal dunia, bukan karena kekerasan atau pengeboman tapi karena polusi udara.

Ia mengatakan kamp tempat keluarganya tinggal membakar sampah untuk memaksa dan menghangatkan tubuh selama musim dingin. Satu demi satu setiap tahun ada anak yang mengalami infeksi pernafasan atau penyakit lain yang disebabkan oleh polusi dan mereka tidak pernah mencapai umur tujuh tahun.

Baca Juga

"Kami tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter dan membeli obat-obatan, saya kesulitan memberi makan keluarga saya," kata Yousuf yang bekerja sebagai kuli panggul di pasar sayur, Rabu (13/11).

Laki-laki berusia 60 tahun itu memiliki sembilan orang anak yang tersisa. Polusi di Afghanistan mungkin lebih mematikan daripada perang yang kini sudah berlangsung selama 18 tahun. Tidak ada stasistik yang mengungkapkan berapa banyak rakyat Afghanistan yang meninggal karena polusi udara.

Namun, peneliti dari State of Global Air mengatakan pada tahun 2017 lalu lebih dari 26 ribu kematian berhubungan dengan polusi udara. Jumlahnya jauh lebih besar dari 3.483 warga sipil yang tewas terbunuh pada tahun itu.

Kabul yang berpopulasi 6 juta jiwa salah satu kota paling berpolusi di dunia. Mereka berada di jajaran paling atas bersama New Delhi dan Beijing. Perang yang terjadi puluhan tahun juga menghancurkan infrastruktur kota dan memicu gelombang perpindahan penduduk.

Setiap hari selalu ada asap yang menyelimut langit Kabul. Kendaraan tua yang beracun, generator listrik dengan bahan bakar berkualitas buruk, batu bara, sampah, plastik dan karet yang dibakar orang miskin di kota itu di rumah menjadi penyebab polusi udara.  

Banyak gedung-gedung apartemen tidak memiliki sistem sanitasi yang benar. Sampah pun dibiarkan bertebaran di pinggir jalan.

Mayoritas korban terancuni oleh udara di rumah mereka sendiri. Sebab, banyak keluarga miskin membakar apa pun yang dapat mereka bakar untuk tetap hangat selama musim dingin yang kerap mencapai titik nol dan bersalju.

Anak-anak dan orang tua menjadi pihak yang paling rentan. Setidaknya pada 2017 lalu tercatat ada 19.400 kematian yang disebabkan oleh polusi rumah tangga. Survei State of Global Air mengatakan polusi rumah tangga berkontribusi pada kematian anak berusia antara dua bulan sampai dua tahun.

Tempat tinggal Yousuf berisi lebih dari ratusan keluarga. Kamp itu tidak memiliki sistem sanitasi dan air yang benar. Kamp tersebut juga dikelilingi oleh sampah. Orang-orang yang ada di kamp itu biasanya mengambil kertas, pakaian, kayu, plastik atau apa pun yang bisa mereka bakar.

"Kami sangat miskin dan kami memiliki banyak masalah, kami tidak memiliki cukup uang untuk obat-obatan, kayu atau arang untuk menghangatkan, jadi inilah hidup kami, anak-anak mengumpulkan sampah dari tempat pembuangan, dan kami gunakan untuk memasak dan menghangatkan anak-anak," kata Yousuf. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement