REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Demonstrasi anti-pemerintah Hong Kong melumpuhkan sebagian pusat keuangan Asia tersebut. Sekolah, jaringan transportasi dan bisnis ditutup. Pada Rabu (13/11), sekitar 1.000 pengunjuk rasa memblokir jalan di pusat kota Hong Kong selama jam makan siang.
Mengenakan masker dan berpakaian pekerja kantor para pengunjuk rasa menggelar pawai. Mereka memasang pembatas di jalanan di pusat kota. Polisi antihuru-hara mencoba untuk membubarkan massa. Polisi menjatuhkan beberapa orang pengunjuk rasa ke tanah dan memukuli beberapa orang lainnya dengan tongkat.
Pada Selasa (12/11) malam, kemarin polisi bentrok dengan mahasiswa di kampus. Bentrokan itu terjadi tidak lama setelah salah satu perwira polisi mengatakan pengunjuk rasa membawa Hong Kong ke dalam kehancuran. Sampai kini situasi di beberapa kampus masih tegang.
Pada malam sebelumnya pengunjuk rasa memblokir jalan, membakar kendaraan dan melempari polisi dengan bom molotov. Mereka juga merusak pusat perbelanjaan di berbagai distrik.
Gelombang kekerasan tersebut terjadi setelah polisi menembak seorang pengunjuk rasa tak bersenjata dengan peluru tajam. Polisi mengklaim pengunjuk rasa itu memegang bom molotov. Mereka mengatakan masih menyelidiki kasus tersebut.
Pengunjuk rasa berencana untuk menggelar demonstrasi di seluruh penjuru Semananjung Kowloon. Dalam selebaran yang disebarkan di media sosial mereka menyebut wilayah itu sebagai Teritori Baru.
Gangguan tersebut menyebabkan ribuan komuter tertahan di stasiun-stasiun metro. Beberapa layanan kereta dihentikan dan jalanan ditutup.
Badan Pendidikan Hong Kong mengatakan sekolah ditutup karena alasan keamanan. Pengunjuk rasa marah dengan apa yang mereka sebut sebagai brutalitas polisi dan intervensi Cina di daerah otonom tersebut.
Cina membantah ikut campur dalam urusan Hong Kong. Mereka menyalahkan negara-negara Barat termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Menurut mereka negara-negara Barat turut memicu kerusuhan.