Kamis 14 Nov 2019 13:38 WIB

Pertemuan Trump dan Erdogan tak Selesaikan Masalah

Trump dan Erdogan mengakhiri pertemuan tanpa mencapai kesepakatan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan usai konferensi pers di East Room Gedung Putih, Washington, Rabu (13/11).
Foto: AP Photo/ Evan Vucci
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan usai konferensi pers di East Room Gedung Putih, Washington, Rabu (13/11).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan ia berteman baik dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Hanya saja, pertemuan yang terjadi antara keduanya tidak menyelesaikan ketegangan antara kedua negara.

Trump dan Erdogan mengakhiri pertemuan tanpa mencapai kesepakatan mengenai keputusan Turki awal tahun ini yang menerima pengiriman sistem pertahanan udara Rusia. Keputusan itu menimbulkan ancaman bagi keamanan NATO, sehingga AS menangguhkan partisipasi Turki dalam program jet tempur multinasional F-35.

Baca Juga

Presiden Turki mengatakan, dia dibujuk untuk menggunakan sistem Patriot buatan AS seperti S-400 Rusia. Trump mengatakan mereka akan setuju untuk terus bekerja pada masalah tersebut.

"Akuisisi S-400 menciptakan beberapa tantangan yang sangat serius bagi kami. Semoga kita bisa menyelesaikan situasi itu," ujar Trump.

Meskipun ada perbedaan, Trump percaya kedua belah pihak dapat secara substansial meningkatkan perdagangan yang bernilai sekitar 24 miliar dolar AS pada 2017. "Kami pikir kami dapat membawa perdagangan sangat cepat hingga sekitar 100 miliar dolar AS antara negara-negara kami," katanya.

Perselisihan mengenai sistem pertahanan udara adalah komponen utama dari ketegangan antara kedua negara. Turki juga mendapat kecaman di Capitol Hill atas serangannya ke Suriah bulan lalu menyasar pasukan Kurdi. Turki pun telah dikritik karena penindasan terhadap lawan politik, jurnalis, dan lainnya.

Ankara marah kepada AS karena mendukung pasukan Kurdi yang dipandangnya sebagai ancaman. AS pun menolak mengekstradisi ulama Muslim yang dituduh telah memicu upaya kudeta pada 2016 terhadap Erdogan.

Erdogan menggunakan pertemuan itu sebagai kesempatan untuk mempertahankan serangan militer terhadap pasukan Kurdi yang didukung AS di Suriah timur laut. Beberapa di antaranya dianggap memiliki hubungan dengan separatis yang telah melancarkan kampanye kekerasan di Turki selama beberapa dekade.

"Kami hanya memerangi teroris, titik. Jika kamu tidak melawan, kamu harus membayar harga yang sangat besar," ujar Erdogan.

Tanggapan pun muncul dari Partai Republik dan Demokrat di Kongres atas pertemuan kedua pihak itu. Mereka berpikir Trump tidak seharusnya bertemu dengan Erdogan.

Pemimpin Minoritas Senat Chuck Schumer mengatakan, pertemuan itu menjadi membingungkan sekaligus mengerikan. Hal itu karena Trump menggelar karpet merah untuk Erdogan setelah invasi yang dilakukan di Suriah.

"Erdogan menekan kebebasan berbicara, menangkap lawan, dan melakukan banyak hal mengerikan ke negaranya, yang dulunya merupakan contoh demokrasi yang jauh lebih bersinar," kata Schumer.

Anggota Demokrat di Senat telah memperkenalkan undang-undang yang mengecam Turki menarget wartawan, lawan politik, pembangkang, minoritas, dan lainnya. Mereka mengatakan, pemerintah Turki telah memenjarakan lebih dari 80 ribu warga Turki, menutup lebih dari 1.500 organisasi non-pemerintah dengan alasan terkait terorisme, dan memecat atau menangguhkan lebih dari 130 ribu pegawai negeri sipil dari pekerjaan. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement