REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan beberapa pejabat Myanmar lainnya digugat di pengadilan Argentina. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang dialami etnis Rohingya.
Gugatan terhadap Suu Kyi diajukan Rohingya dan kelompok hak asasi manusia Amerika Latin pada Rabu (13/11). Mereka bertindak di bawah prinsip yurisdiksi universal, sebuah konsep hukum yang diabadikan dalam undang-undang banyak negara.
Premisnya adalah bahwa beberapa tindakan, termasuk kejahatan perang dan kemanusiaan, tidak spesifik untuk satu negara dan dapat diadili di mana saja.
"Pengaduan ini mencari sanksi pidana dari para pelaku, kaki tangan, dan yang menutupi genosida. Kami melakukannya melalui Argentina karena mereka tidak memiliki kemungkinan mengajukan pengaduan pidana di tempat lain," kata pengacara Tomas Ojea, dikutip the Guardian, Kamis (14/11). Ojea adalah pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar antara 2008 dan 2014.
Dia menuntut para pemimpin militer dan politik terkemuka, termasuk pemimpin militer Aung Hlaing serta pemimpin sipil Suu Kyi, menghadapi peradilan atas ancaman eksistensial yang dihadapi minoritas Muslim Rohingya. Ojea berharap surat perintah penangkapan internasional akan diterbitkan sebagai konsekuensi gugatan tersebut.
Presiden The Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK) Tun Khin adalah pihak yang turut mengajukan tuntutan terhadap pejabat politik dan militer Myanmar yang bertanggung jawab atas pembantaian Rohingya.
"Selama beberapa dekade, pihak berwenang Myanmar telah mencoba memusnahkan kami dengan membatasi kami di ghetto (kamp konsentrasi), memaksa kami meninggalkan negara asal kami serta membunuh kami," ujar Tun Khin.
Pengadilan Argentina telah banyak menangani kasus-kasus yurisdiksi universal. Dua di antaranya seperti kasus mantan pemimpin diktator Spanyol Francisco Franco dan gerakan Falun Gong di Cina.
Secara terpisah, Gambia turut mengajukan terhadap Myanmar ke pengadilan tinggi PBB di Den Haag, Belanda. Gugatan diserahkan pada Senin lalu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mengulangi seruan agar proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh dapat segera berlangsung dan dilakukan secara aman, bermartabat, serta sukarela.
Dia mendesak Myanmar secara aktif terlibat dan mempromosikan proses rekonsiliasi nasional. Hal itu untuk membantu menciptakan kondisi yang diperlukan agar para pengungsi Rohingya dapat kembali secara sukarela dan damai.
Tanpa adanya kondisi yang aman dan kondusif, repatriasi secara sukarela tidak akan dapat terjadi. "Di Negara Bagian Rakhine, kita memiliki komunitas Rakhine dan komunitas Rohingya. Sangat penting menciptakan kondisi yang kondusif bagi rekonsiliasi, di mana ujaran kebencian dan bentuk kebencian lainnya dapat menghilang," ujar Guterres di sela KTT ASEAN ke-35 di Bangkok, Thailand, pekan lalu.