Jumat 15 Nov 2019 14:05 WIB

Industri Perikanan Thailand Masih Dihantui Perbudakan Manusia

Sejak diawasi secara ketat oleh komunitas internasional, industri perikanan Thailand telah mencapai kemajuan signifikan. Namun, ada beberapa celah yang masih menjauhkan negara itu dari praktik kerja secara etis.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa
picture-alliance/dpa

Pada bulan Oktober, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengumumkan penangguhan kebijakan perdagangan preferensial untuk Thailand di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP). Penangguhan ini akan berpengaruh terhadap lebih dari 500 produk, termasuk yang terkait dengan industri makanan laut asal Thailand dan akan mulai berlaku pada 25 April 2020.

Alasan AS menerapkan langkah tersebut adalah gagalnya Thailand dalam melindungi hak-hak pekerja secara memadai. Sejumlah kalangan meragukan motif sebenarnya dari tindakan itu. Namun, laporan dalam beberapa bulan terakhir tentang kondisi kerja yang buruk telah menunjukkan bahwa langkah itu tidak sepenuhnya tanpa dasar.

Nasib para pekerja perikanan

Terpikat janji upah yang lebih baik oleh seorang pialang, sedikitnya 18 anggota awak kapal berangkat dari Thailand ke Iran awal tahun ini. Segalanya berjalan lancar sampai ketika mereka memasuki perairan Somalia ketika bendera kapal ditukar menjadi bendera negara Afrika timur itu.

Para nelayan tiba-tiba merasa terjebak karena mereka tidak diizinkan meninggalkan kapal dan upah mereka ditahan. Nasib kian buruk ketika kapal kehabisan bahan bakar dan persediaan makanan.

Laporan bahwa mereka terdampar di kapal pukat ikan dalam kondisi mengalami eksploitasi, layaknya budak di laut lepas Somalia, muncul di media pada bulan Agustus. Laporan ini pun mengungkap praktik curang di sektor perikanan.

Baca juga: Pengamat: Penenggelaman Kapal Pelaku Illegal Fishing Berdampak Positif.

''Thailand memang telah mengubah dan menegakkan peraturannya. Tetapi ini adalah kejahatan lintas batas. Kapal penangkap ikan tidak menggunakan bendera Thailand jika sedang ada pengetatan pengawasan," ujar aktivis hak asasi manusia Thailand Patima Tungpuchayakul kepada DW.

Dia menekankan bahwa kerja paksa dan eksploitasi tidak bisa terdeteksi di kapal Thailand yang beroperasi di perairan Thailand, tetapi pada kapal yang mengibarkan bendera asing.

Pihak berwenang Thailand cenderung tidak menyadari adanya bisnis penangkapan ikan secara terselubung ini karena mereka terdaftar di luar negeri. Ini berarti tidak ada jejak dokumen di dalam negeri dan para pejabat mungkin tidak mengetahui kondisi para buruh di kapal ini.

Dalam pengawasan ketat

Selama lima tahun terakhir, Thailand telah banyak dikritik setelah adanya laporan pelanggaran hak asasi manusia dan perburuhan, serta praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak sesuai peraturan (IUU Fishing).

Pada tahun 2014, Departemen Luar Negeri AS menurunkan peringkat negara ini ke Tingkat 3 (peringkat terendah) terkait dalam Laporan Perdagangan Orang. Sementara Komisi Eropa mengeluarkan kartu kuning dan mengancam akan melarang Thailand mengekspor produk makanan laut ke Uni Eropa.

"Industri perikanan tangkap Thailand putus asa dalam mendapatkan cukup nelayan yang mau melaut. Oleh karena itu mereka terus menggunakan berbagai trik untuk mempertahankan (para buruh) yang mereka miliki," kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch, kepada DW. Trik ini antara lain yaitu menahan kartu ATM dan nomor PIN nelayan.

Masalah regional

Di Asia Tenggara, penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak mengikuti peraturan masih banyak dijumpai. Indeks UII Fishing tahun 2019 yang dibuat oleh organisasi Global Initiative Against Transnational Organized Crime mengungkapkan bahwa Asia bernasib paling buruk di antara seluruh wilayah penangkapan ikan di dunia.

Kamboja, Vietnam, Myanmar, Filipina, dan Indonesia di antara 15 negara dengan kinerja sektor perikanan tangkap terburuk. Praktik ini tercermin dalam temuan Asia Foundation bahwa penangkapan ikan yang berlebihan telah membuat 64 persen dari total sektor perikanan di Asia Tenggara "pada risiko sedang hingga tinggi."

Enam negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Myanmar termasuk dalam 20 negara penghasil ikan dari sektor perikanan tangkap teratas dunia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) hasil tangkapan dari enam negara ini setara dengan seperlima dari total tangkapan ikan seluruh dunia.

Kamboja adalah satu dari tiga negara di dunia yang berstatus kartu merah, yang membuat negara itu tidak bisa mengekspor produk makanan lautnya ke Uni Eropa. Tetangganya, Vietnam, telah memperoleh ancaan larangan dagang yang sama karena kapal penangkap ikan mereka berlayar "jauh dan tidak terkendali," kata Robertson. Vietnam memperoleh kartu kuning dari UE.

Di Filipina, praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak sesuai peraturan telah menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari € 1,18 miliar (lebih dari Rp 20 triliun) per tahun, menurut Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Sedangkan Indonesia sampai dengan tahun 2014 harus merugi sekitar € 3,4 miliar (Rp 52,7 triliun) setiap tahun.

Harga sebenarnya dari makanan laut

Terlepas dari kerugian ekonomi yang terlalu tinggi, IUU Fishing juga merupakan ancaman serius bagi perikanan dan terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Para peneliti mengamati menurunnya populasi ikan di seluruh dunia secara signifikan. Dalam laporan 2018, FAO memperkirakan bahwa 33,1 persen wilayah telah mengalami penangkapan ikan yang melebihi kapasitas (over fishing). Sementara itu, konsumsi global secara stabil meningkat, dari hanya sedikit di bawah 10 kilogram pada tahun 1960-an menjadi rekor tertinggi 20,3 kilogram pada tahun 2016.

Dengan permintaan yang mencapai rekor tertinggi sepanjang waktu, menipisnya persediaan ikan karena terlalu banyak ditangkap telah memaksa nelayan melaut lebih jauh dan meningkatkan jumlah hari melaut. Hal ini kemudian meningkatkan biaya operasional penangkapan ikan. Ini berkontribusi pada kerja paksa, perdagangan manusia dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, karena para pemilik kapal berusaha untuk memenuhi permintaan pasar dengan biaya semurah mungkin.

"Saya ingin semua orang menyadari bahwa perbudakan modern itu ada, dan itu adalah tanggung jawab setiap konsumen makanan laut di planet ini," kata Tungpuchayakul.

(ae/rap)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement