REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar telah menolak keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menyelidiki dugaan kejahatan terhadap Muslim Rohingya. ICC diangggap tak memiliki yurisdiksi atas negara tersebut.
Juru bicara Pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan negaranya bukanlah negara pihak dari Statuta Roma. "Keputusan ICC (untuk menyelidiki kasus Rohingya) tidak sesuai dengan hukum internasional," ucapnya dikutip Anadolu Agency pada Ahad (17/11).
Statuta Roma adalah perjanjian pendirian ICC yang bertujuan melindungi komunitas dari genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Htay menegaskan bahwa pemerintah dan militer Myanmar masing-masing telah membentuk komisi investigasi independen. "Jika pelanggaran hak asasi manusia ditemukan, kami akan bertindak sesuai hukum," ujarnya.
Sebelumnya ICC telah menyatakan akan memulai penyelidikan kejahatan terhadap Rohingya. ICC menilai ada dasar yang logis untuk melakukan hal tersebut mengingat masifnya arus pengungsi ke Bangladesh.
Pekan lalu pmimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan beberapa pejabat Myanmar lainnya digugat di pengadilan Argentina. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang dialami etnis Rohingya.
Gugatan terhadap Suu Kyi diajukan Rohingya dan kelompok hak asasi manusia Amerika Latin pada Rabu (13/11). Mereka bertindak di bawah prinsip yurisdiksi universal, sebuah konsep hukum yang diabadikan dalam undang-undang banyak negara.
Premisnya adalah bahwa beberapa tindakan, termasuk kejahatan perang dan kemanusiaan, tidak spesifik untuk satu negara dan dapat diadili di mana saja.
"Pengaduan ini mencari sanksi pidana dari para pelaku, kaki tangan, dan yang menutupi genosida. Kami melakukannya melalui Argentina karena mereka tidak memiliki kemungkinan mengajukan pengaduan pidana di tempat lain," kata pengacara Tomas Ojea, dikutip the Guardian, Kamis (14/11). Ojea adalah pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar antara 2008 dan 2014.
Dia menuntut para pemimpin militer dan politik terkemuka, termasuk pemimpin militer Aung Hlaing serta pemimpin sipil Suu Kyi, menghadapi peradilan atas ancaman eksistensial yang dihadapi minoritas Muslim Rohingya. Ojea berharap surat perintah penangkapan internasional akan diterbitkan sebagai konsekuensi gugatan tersebut.
Presiden The Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK) Tun Khin adalah pihak yang turut mengajukan tuntutan terhadap pejabat politik dan militer Myanmar yang bertanggung jawab atas pembantaian Rohingya. "Selama beberapa dekade, pihak berwenang Myanmar telah mencoba memusnahkan kami dengan membatasi kami di ghetto (kamp konsentrasi), memaksa kami meninggalkan negara asal kami serta membunuh kami," ujar Tun Khin.
Pengadilan Argentina telah banyak menangani kasus-kasus yurisdiksi universal. Dua di antaranya seperti kasus mantan pemimpin diktator Spanyol Francisco Franco dan gerakan Falun Gong di Cina.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.
Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).