REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri mengatakan, Lebanon seperti kapal yang tenggelam kecuali ada tindakan untuk mencegah hal itu terjadi. Ia menyinggung tentang krisis ekonomi dan politik yang menerpa negara itu.
"Negara ini seperti kapal yang sedikit demi sedikit tenggelam," kata Berri yang dikutip surat kabar al-Joumhouria, seperti dilansir Aljazirah, Senin (18/11). "Jika kita tidak mengambil langkah yang dibutuhkan, akan sepenuhnya tenggelam," tambah Berri.
Pernyataan ini bersamaan dengan unjuk rasa di seluruh penjuru Lebanon memasuki bulan kedua. Unjuk rasa yang menjadi gerakan protes nasional ini bermula pada 17 Oktober. Pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menentang penguasa yang mereka anggap korup dan tidak mampu menjalankan pemerintahan.
Surat kabar An-Nahar mengutip Berri dan menyamakan situasi rakyat Lebanon seperti penumpang kapal Titanic. Kapal pesiar mewah itu tenggelam pada 1912 setelah menabrak karang es.
Ratusan ribu rakyat Lebanon mengambil bagian dalam gerakan protes. Mereka meminta sistem politik yang membagikan kekuasaan berdasarkan kelompok etnis dan agama diubah seluruhnya.
Pengunjuk rasa juga menyerukan pemerintahan yang dipimpin teknokrat untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi di Lebanon. Mereka juga menuntut akses kebutuhan dasar, seperti air dan listrik yang lebih baik.
Pada Ahad (17/11) mantan perdana menteri Lebanon Saad al-Hariri yang mengundurkan diri, 29 Oktober, mengkritik Presiden Michael Aoun. Kritik itu dilontarkan setelah kandidat pengganti Al-Hariri menarik diri dari pencalonannya, yaitu mantan menteri keuangan yang juga pengusaha, Mohammed Safadi. Di mata pengunjuk rasa, Safadi bagian dari oligarki elite politik yang dilawan oleh para demonstran.
Safadi menarik pencalonannya sebagai perdana menteri. Dalam pernyataan tertulisnya, Safadi mengatakan, akan sulit membentuk kabinet 'harmonis' yang didukung semua partai. Safadi menambahkan, ia berharap, Hariri akan ditunjuk lagi sebagai perdana menteri.
Seakan mencerminkan iklim politik yang rapuh, Partai Free Patriotic Movement (FPM) yang mengusung Aoun menuduh Hariri menahan Safadi untuk mendapatkan kembali kursi perdana menteri. "Saad (al-Hariri) menunda-nunda berbagai hal yang bertujuan membakar nama-nama dan tampil sebagai penyelamat," kata salah sumber yang mengetahui pandangan FPM.
Hariri pun membantah tudingan tersebut melalui pernyataan tertulis kantornya. Ia mengatakan, tuduhan FPM yang tidak bertanggung jawab adalah untuk mengambil keuntungan walaupun Lebanon sedang dalam 'krisis nasional besar'.
Para pendukung Hizbullah berlari usai polisi menembakkan gas air mata di dekat kantor pemerintahan di Beirut, Lebanon, Selasa (29/10).
Lebanon sempat dilanda perang saudara pada 1975-1990. Perang itu berakhir dengan kesepakatan Taif yang antara lain memutuskan bahwa pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan kelompok mayoriitas. Jabatan presiden untuk kelompok Kristen Maronite, perdana menteri untuk kelompok Suni, dan ketua parlemen untuk kelompok Syiah.
Setelah Hariri mundur, pengunjuk rasa tetap menuntut semua elite turun, tak terkecuali kubu Syiah. Dua sosok Syiah yang kuat adalah ketua parlemen Berri dan ketua Hizbullah, Hassan Nasrallah. "Semua, artinya ya semua, termasuk Nasrallah," tuntut para pengunjuk rasa dalam sejumlah aksi mereka di Beirut.
Hizbullah selama ini diprotret sebagai pembela kaum papa. Namun, kini dianggap bagian dari kelas penguasa. Hizbullah dianggap sebagai bagian dari perekonomian yang runtuh serta korupsi bertahun-tahun dan salah kelola pemerintahan. n lintar satria/ap, ed: yeyen rostiyani