Rabu 20 Nov 2019 09:50 WIB

Ilmuwan Australia Temukan Solusi Daur Ulang Sampah Plastik

Australia saat ini memiliki masalah besar dengan daur ulang sampah plastik.

Red:
.
.

Sejumlah ilmuwan Australia telah mengembangkan teknologi yang menurut mereka bisa mendaur ulang semua plastik, termasuk yang selama ini tidak dapat didaur ulang.

  • Perusahaan Licella temukan sistem daur ulang untuk semua sampah plastik
  • Saat ini Australia hanya bisa mendaur ulang 10 persen dari total sampah plastik
  • Meski perusahaan Australia, Licella lebih memilih buka pabriknya di Inggris

 

Baca Juga

Teknologi yang sudah dipatenkan tersebut ditemukan oleh Len Humpreys dan Profesor Thomas Maschmeyer dari Sydney University.

Australia saat ini memiliki masalah besar dengan daur ulang sampah plastik. Setiap tahunnya warga Australia membuang 3,5 juta ton sampah plastik.

 

Baru sekitar 10 persen yang bisa didaur ulang saat ini, sementara sisanya dibakar, dikubur atau dikirim ke luar negeri.

Indonesia menjadi salah satu tujuan tempat pembuangan sampah plastik, setelah ditemukan adanya selundupan sampah plastik dalam kertas-kertas bekas yang dikirim dari Australia.

Pada September lalu, Indonesia dengan tegas telah mengambil kebijakan untuk memulangkan sembilan kontainer sampah seberat 135 ton kembali ke Australia.

Mendaur ulang plastik untuk bahan bakar

 

Menjadi pukulan Australia, saat China mengumumkan negaranya menghentikan mengambil limbah daur ulang Australia di Januari 2018.

Tapi sekarang Dr Humphreys melihat timbunan sampah plastik sebagai potensi sumber daya yang terbuang. Menurutnya plastik-plastik tersebut bisa digunakan sebagai bahan bakar atau dibuat kembali menjadi plastik baru.

Diyakininya, teknologi Catalytic Hydrothermal Reactor (Cat-HTR) buatannya bisa melakukan hal tersebut dengan mendaur ulang kimia yang mengubah plastik pada tingkat molekuler, dan dengan menggunakan air panas pada tekanan tinggi dapat mengubahnya menjadi minyak.

"Apa yang kami lakukan adalah hanya mengambil bahan-bahan tersebut dan mengubahnya kembali menjadi cairan dan bahan kimia darimana plastik berasal," katanya kepada program ABC 7.30.

 

Dari sana, minyak dapat diubah menjadi aspal, bensin atau kembali menjadi berbagai jenis plastik.

Dr Humphreys mengatakan teknologi Cat-HTR yang telah dipatenkan berbeda dari teknologi sebelumnya yang bisa mengubah plastik menjadi minyak, seperti pirolisis, yang mana prosesnya lebih melibatkan pemanasan bahan-bahan pada suhu sangat tinggi.

Tidak seperti daur ulang fisik tradisional, dengan teknologi ini plastik tidak perlu lagi dipisahkan sesuai dengan jenis dan warna. Teknologi ini pun dapat mendaur ulang apapun dari kotak susu dari bahan karton ke pakaian selam dan bahkan produk kayu.

Artinya juga produk plastik dapat didaur ulang berulang kali.

Setelah menguji coba teknologi selama dekade terakhir di pabrik percontohan di New South Wales, perusahaan Licella sekarang siap untuk membawa idenya ke pasar.

 

Perusahaan ini membuka pabrik daur ulang komersial pertamanya di Inggris, di mana menurutnya lebih mendapatkan hibah dari pemerintah dan memiliki kebijakan lingkungan yang lebih baik dibandingkan di Australia.

Pemerintah Australia mengatakan mereka sebenarnya memberikan juga insentif bagi industri daur ulang.

"Kami mendukung semua seluruh rantai pasokan dan investasi yang memungkinkan aktor bisnis melakukan yang terbaik," kata Menteri Lingkungan Sussan Ley kepada ABC.

Menteri Sussan juga mengaku sudah berbicara dengan perusahaan Licella dan menunggu apa yang bisa dilakukan pemerintah Australia untuk mendukung mereka.

Profesor Damian Guirco, direktur Institute for Sustainable Futures di University of Technology Sydney, mengaku terkesan dengan teknologi tersebut dan menurutnya bisa menjadi salah satu bagian dari solusi.

"Saat berpikir bagaimana kita perlu merancang sistem agar plastik bisa digunakan kembali dalam hal ekonomi, satu teknologi akan jadi solusinya," katanya.

Namun ia mengatakan masalah yang lebih besar untuk diatasi adalah konsumsi plastik yang berlebihan.

Simak laporannya dalam bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement