Bagi media massa milik pemerintah Cina, masalah yang terjadi di Hong Kong adalah masalah integritas di seluruh negeri. "Kami tidak mengizinkan siapa pun menantang prinsip 'satu negara, dua sistem,'" tulis Renmin Ribao, media milik organ partai, Senin (18/11).
Tujuan para pemrotes adalah "menjerumuskan Hong Kong ke dalam kekacauan, melumpuhkan pemerintah kota, kemudian merebut kekuasaan Daerah Administratif Khusus guna membangun sistem politik independen atau semi independen." Kemudian prinsip 'satu negara, dua sistem' pun hanya akan menjadi lelucon. "Ini mengenai masa depan Hong Kong, tidak boleh ada zona abu-abu, tidak ada ruang untuk kompromi."
"Penegakan hukum terancam"
Sehari sebelumnya, editorial Renmin Ribao mengatakan bahwa "meningkatnya kehancuran di Hong Kong oleh tindakan kriminal telah menyebabkan warga negara hidup dalam ketakutan terus-menerus. Keamanan mereka tidak lagi dapat dijamin, hak-hak dasar warga negara - seperti kebebasan berekspresi - dibatasi secara besar-besaran, supremasi hukum menjadi sangat terancam."
Komentator mengutip pernyataan pemimpin partai yang juga pemimpin negara, Xi Jinping, tentang situasi di Hong Kong Kamis (14/11) lalu dalam kunjungannya ke Brasil. "Mengakhiri kekerasan dan kekacauan dan memulihkan ketertiban, inilah yang paling mendesak di Hong Kong. Sebagian besar penduduk Hong Kong menentang kekerasan, dan mendukung aturan hukum serta keamanan dan perdamaian."
Baca juga: Protes dari Hong Kong yang Menginspirasi Dunia
"Aksi demonstrasi mengingatkan kita pada ISIS"
Media Huangqiu Ribao (edisi bahasa Cina dari "Global Times") menggambarkan gerakan protes pada tanggal 15 November sebagai "terorisme baru" dan menulis bahwa "para demonstran, baik dari pakaian hitam mereka dan penggunaan senjata di dalam kota semakin mirip dengan para militan ISIS. Langkah selanjutnya adalah menyandera dan menekan pemerintah. Jika tuntutan (mereka) tidak terpenuhi, eksekusi para sandera bisa diharapkan (terjadi)."
Artikel itu selanjutnya mengatakan: "Reputasi universitas-universitas di Hong Kong dan seluruh kota telah menjadi sandera mereka. Para demonstran radikal ini menyebarkan terorisme baru. Mereka menjadikan diri mereka semacam bom manusia. Mereka serukan aksi untuk 'terbakar bersama' dan melancarkan serangan bunuh diri terhadap kota modern ini."
Pada akhirnya, artikel di Huangqiu Ribao menyatakan: Para pengunjuk rasa "mengorganisisasikan perlawanan strategis yang tidak mengenal batas. Ini secara substansial membedakan mereka dari para pengunjuk rasa di sebagian besar masyarakat Barat lainnya."
"Tindakan polisi sah dan berdasarkan hukum"
Surat kabar yang sama menulis dalam komentar sebelumnya dari tanggal 13 November bahwa "siapa yang melemahkan kompetensi polisi, (berarti) membantu para pelaku kekerasan." Surat kabar ini juga menyatakan "apakah mayoritas warga Hong Kong menginginkan pemogokan umum di kota? Jawabannya jelas tidak. Jika mayoritas warga mendukung, orang tidak perlu membuat jalan untuk bekerja dan tidak akan membuka toko, jadi mereka tidak perlu membuat barikade.
Melumpuhkan kota bukan merupakan kepentingan mayoritas warga Hong Kong. Namun ongkos kerugian (akibat kelumpuhan kota) baik yang terlihat maupun tidak terlihat, ditanggung oleh semua warga negara." Tindakan polisi "sepenuhnya dibenarkan, baik secara hukum maupun moral."
"Kegagalan pers barat"
Komentar lain dari koran yang sama dari tanggal 12 November lebih berurusan dengan media barat. "Liputan media barat tentang Hong Kong dalam beberapa hari terakhir tidak objektif sama sekali. Media telah memberikan kesan yang salah kepada publik terkait situasi Hong Kong, dan itu menyemangati para pelaku kekerasan. Ini tidak ubahnya menyiramkan minyak ke dalam api."
Menurut komentator itu, media barat berfokus kepada penyalahgunaan kewenangan polisi, seperti polisi yang menembak seorang demonstran di tubuh bagian atasnya. Namun, tidak disebutkan bahwa ia sebelumnya berusaha mencuri pistol polisi. Selain itu, media barat disebut mengenyampingkan fakta bahwa banyak pihak tidak bersalah yang diserang dan bahwa ada ancaman untuk menembakkan bahan peledak di kampus Universitas Cina Hong Kong, jika polisi tidak membebaskan para mahasiswa yang ditangkap.
"Media barat dengan sengaja mengabaikan atau meremehkan kejadian mengerikan ini," catat penulis. "Tidak ada kritik terbuka atas tindakan kekerasan ini, tidak ada prasangka." Dikatakan, "pemberitaaan terkait Hong Kong telah menunjukkan kepada kita betapa biasnya media barat, tidak memperhatikan etos profesional mereka sendiri. Ini bisa disebut skandal dalam sejarah pers barat."
(ae/gtp)