REPUBLIKA.CO.ID, HARARE -- Polisi Zimbabwe melepaskan tembakan gas air mata dan menghantam orang-orang yang berkumpul untuk mendengarkan ketua oposisi pemerintah. Puluhan orang pun berlari dan menghindari pukulan tongkat di ibu kota Harare.
Pada Rabu (20/11), polisi menutup markas partai Movement for Democratic Change sebelum Nelson Chamisa berpidato. Mereka juga berpatroli dengan kendaraan water canon.
Ketidakpuasan publik di Zimbabwe terhadap Presiden Emmerson Mnangagwa yang gagal menepati janjinya memakmurkan ekonomi dan kebebasan politik. Sistem kesehatan ambruk di tengah krisis ekonomi yang menghantam Zimbabwe lebih dari satu dekade.
Chamisa terus mendebatkan kekalahan tipisnya dari Mnangagwa dalam pemilihan tahun lalu. Dalam beberapa bulan terakhir hanya unjuk rasa pro-pemerintah yang diizinkan.
Sementara aksi serupa yang dilakukan oposisi, buruh dan kelompok hak asasi manusia harus berhadapan dengan tindakan keras polisi. Polisi membantah melarang acara terbaru dari oposisi.
Juru bicara polisi Paul Nyathi mengatakan polisi dan oposisi sepakat untuk memindahkan acara itu di luar kota. Oposisi memiliki surat yang mengonfirmasi pelarangan.
"(Tindakan terbaru) menunjukkan bagaimana ruang demokrasi masih tertekan seperti zaman Robert Mugebe," kata juru bicara oposisi Luke Tamborinyoka.
Beberapa rakyat Zimbabwe menyatakan represi lebih buruk dibandingkan zaman Mugabe berkuasa. Penguasa yang digulingkan pada 2017 lalu dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pada Agustus International Monetary Fund menghitung inflansi di Zimbabwe mencapai 300 persen membuat negara itu menjadi negara dengan inflansi tertinggi kedua setelah Venezuela.
Mnangagwa berkali-kali meminta lebih banyak waktu. Ia mengatakan langkah penghematan yang ia ajukan akan membuat berbagai hal menjadi lebih buruk sebelum akhirnya membaik.