Bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, kerbau dianggap sebagai hewan yang bernilai tinggi karena dagingnya banyak dikonsumsi. Namun di Northern Territory (NT) atau Australia Utara, keberadaan hewan ini justru dianggap sebagai hama.
Kerbau Jadi Masalah:
- Australia Utara (NT) tak mampu memenuhi permintaan kerbau dari negara-negara Asia Tenggara tapi di sisi lain jumlah kerbau liar semakin meningkat
- Meski curah hujan yang rendah akan mempengaruhi populasinya, namun jumlah kerbau liar saat ini diperkirakan lebih dari 160 ribu ekor
- Kerbau-kerbau ini dianggap hama karena merusak lingkungan bagi produk agrikultur lainnya
Menurut data Territory Natural Resource Management (TNRM), untuk wilayah Top End saja diperkirakan setidaknya ada 161.250 ekor kerbau liar saat ini. Top End hanya sebagian dari wilayah NT, yaitu wilayah semenanjung yang mencakup Darwin dan Arnhem Land.
Kehadiran kerbau di Australia memiliki sejarah yang panjang, yaitu didatangkan pada awal abad ke-19 dari wilayah Indonesia yang saat itu masih dijajah Belanda, umumnya dari Pulau Timor, Pulau Kisar dan Jawa Barat.
Saat ini, pertumbuhan populasi kerbau liar yang tak terkendali telah menjadi masalah besar bagi sektor pertanian di Top End, karena menyebabkan kerusakan yang luas pada sumber air, menghancurkan lahan dan menyebarkan gulma.
Data jumlah kerbau liar ini dihitung oleh TNRM setelah mereka melakukan survei pada lahan seluas 225.000 kilometer persegi. Menurut Susanne Casanova dari TNRM, pada wilayah yang tidak menerapkan pengendalian hewan liar, jumlah populasi kerbaunya cukup menonjol.
"Pada wilayah yang memiliki program pengendalian, kami mendapati tingkat kepadatan kerbau yang lebih rendah," jelas Casanova.
Sementara di wilayah tanpa pengendalian, katanya, tingkat kepadatan populasi kerbau sekitar satu ekor per kilometer persegi.
Diperkirakan, peningkatan populasi kerbau liar mencapai 27.000 ekor per tahun, atau lebih banyak dari jumlah kerbau yang bisa ditangkap atau dimusnahkan.
Dalam lima tahun terakhir, ribuan ekor kerbau liar telah diekspor ke berbagai negara Asia Tenggara, sebagian besar merupakan hasil tangkapan para pemburu.
Selain mengekspor, upaya pemusnahan kerbau liar juga telah dilakukan, misalnya di Taman Nasional Kakadu dan tanah-tanah adat Aborigin.
Namun demikian, populasi kerbau liar masih terus mengalami peningkatan.
Menurut ketua Dewan Industri Kerbau NT (NTBIC) Ian Bradford, permintaan kerbau dari Asia Tenggara tidak pernah bisa dipenuhi oleh pihaknya.
"Permintaan selalu ada, hanya masalah bagaimana memenuhinya," kata Bradford kepada ABC.
Bradford menjelaskan, mayoritas kerbau liar ditemukan di tanah-tanah adat Aborigin, sehingga pihaknya terus berusaha meningkatkan upaya perburuan.
Upaya koordinasi dengan pihak terkait seperti pun terus dilakukan agar bisa meningkatkan jumlah kerbau liar yang bisa ditangkap.
"Hewan-hewan ini ada di sana, hanya perlu dikelola secara benar," ujarnya.
Saat ini, dengan kondisi curah hujan yang sangat rendah, diperkirakan akan berdampak pada jumlah kerbau liar.
Hal ini, menurut Susanne Casanova, tentunya akan menyebabkan kerbau-kerbau liar mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan.
"Mungkin saja jumlahnya tidak akan bertambah banyak tahun depan. Tapi kalau nanti curah hujannya lebih baik, jumlah kerbau liar akan bertambah lagi," jelasnya.
Kekhawatiran mengenai banyaknya kerbau liar di Australia Utara cukup beralasan.
Tahun lalu misalnya, pada sumber di daerah Bulman dan Weemol dipasang pagar sepanjang 1,3 km sebagai upaya mengatasi kerbau liar.
Hasilnya sangat menggembirakan karena vegetasi di sekitar wilayah yang dipagari ini sudah kembali pulih dibandingkan kondisi sebelumnya.
Lahan-lahan basah di Australia Utara telah banyak yang terdegradasi akibat serbuan populasi kerbau liar.
Namun di sisi lain, kerbau-kerbau liar yang berhasil ditangkap telah menjadi sumber pendapatan penduduk setempat.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia