Sabtu 23 Nov 2019 18:03 WIB

Jejak Kekerasan Demo Hong Kong dalam Sebuah Payung

Seiring waktu, payung yang rusak menjadi lebih rusak karena kekerasan telah meningkat

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Demonstran menggunakan payung dan cat semprot saat mengepung markas polisi di Hong Kong, Kamis dini hari (27/6).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Demonstran menggunakan payung dan cat semprot saat mengepung markas polisi di Hong Kong, Kamis dini hari (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ketika aparat pemerintah Hong Kong membersihkan jalan pascademo di Hong Kong pada Juni lalu, seorang pria bernama Kecin Cheung mencoba mengamankan suatu benda. Ia menyortir 36 payung dari puing-puing bekas demonstrasi.

"Saya bisa merasakan kekerasan yang terjadi pada payung dan orang-orang yang memegangnya," kata Cheung.

Desainer ini melihat, limbah yang dihasilkan dari demonstrasi memiliki cerita di dalamnya. Untuk itu dia memilih membawa payung-payung ke tempat tinggalnya untuk didaur ulang.

Aksinya itu bermula sejak lima tahun lalu ketika demonstrasi "Occupy" atau "Umbrella" mencuat. Ia membuat tempat daur ulang dari limbah-limbah payung yang berserakan. Hal itu menginspirasi Cheung untuk memberikan kehidupan baru pada payung-payung rusak yang tersisa dari protes. Payung tersebut merupakan simbol paling terlihat dari protes pada 2014. Ketika itu, aktivis menggunakannya untuk menangkis gas air mata dan semprotan merica.

Untuk menyimpan kisah itu, besi yang menjadi kerangka payung dijadikan bahan utama. Cheung membuat karya yang berbentuk piano ibu jari. Pada 28 September, peringatan kelima "Gerakan Payung", Cheung merilis versi baru piano sembilan nada yang memainkan "Glory to Hong Kong". Lagu itu menjadi sebuah simbol tidak resmi dari gerakan protes.

Cheung mengatakan orang-orang biasa mencari kesempurnaan dalam kerajinan instrumen buatan tangannya. Namun, dalam versi "Glory to Hong Kong", justru orang mencari ketidaksempurnaan.

Kondisi payung, yang dikumpulkan Cheung dan sukarelawan setelah protes mencerminkan meningkatnya kekerasan. "Seiring berjalannya waktu, payung yang rusak menjadi lebih rusak karena kekerasan telah meningkat," katanya menunjukan salah satu payung berwarna biru yang hangus berbau gas air mata.

"Semakin sulit menemukan payung secara utuh," ujarnya menunjuk pada pengumpulan payung di momen demonstrasi tahun ini.

Cheung menyumbangkan hasil dari penjualan 45 piano ibu jari sekitar 250 dolar HK per buah. Dia berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 dolar HK untuk dua organisasi yang mendukung para demonstran yang memberikan bantuan hukum atau perawatan medis.

"Kami meminta hal yang sama, hak pilih universal," kata Cheung.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement