Sabtu 23 Nov 2019 18:20 WIB

Kamboja Tegaskan Dukungan pada Cina atas Masalah Hong Kong

Kamboja menghormati prinsip dan kebijakan One China atau Satu Cina.

Rep: Puti Almas/ Red: Christiyaningsih
Seorang pendemo membakar foto Presiden China Xi Jinping dalam protes di Hong Kong, Selasa (1/10). Polisi menembak seorang pendemo di dada dari jarak dekat hingga berdarah di bahu.
Foto: AP Photo/Vincent Thian
Seorang pendemo membakar foto Presiden China Xi Jinping dalam protes di Hong Kong, Selasa (1/10). Polisi menembak seorang pendemo di dada dari jarak dekat hingga berdarah di bahu.

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH — Pemerintah Kamboja menegaskan kembali dukungannya terhadap Cina dalam upaya untuk memadamkan aksi protes yang diwarnai dengan kekerasan di Hong Kong. Negara itu menekankan bahwa pihaknya menghormati prinsip dan kebijakan One China atau Satu Cina.

Juru bicara Pemerintah Kamboja, Phay Siphan, mengatakan bersama dengan Beijing negara itu berusaha untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Pernyataan ini datang di tengah meningkatknya ketegangan di Hong Kong, yang beberapa waktu lalu pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa di Baptist University dan pasukan keamanan terlibat dalam bentrokan. Bahkan, area kampus tersebut tampak diselimuti oleh gas air mata dan asap dari bom molotov.

Baca Juga

“Pemerintah Kamboja berkali-kali menyatakan bahwa penting bagi kami menghormati kebijakan Satu Cina. Kami memandang apa yang terjadi sebagai masalah internal,” ujar Siphan yang juga mengisyaratkan bahwa tak ada yang berubah dari sudut pandang Kamboja, dilansir VOA pada Sabtu (23/11).

Sejak Juni lalu, gelombang demonstrasi besar-besaran dimulai di Hong Kong. Ribuan orang di kota itu menentang Rancangan Undang-undang (RUU) yang memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke wilayah Cina daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat Cina.

Aksi ini kemudian terus meluas, dengan seruan para demonstran yang menuntut demonstrasi sepenuhnya bisa ditegakkan. Situasi ini menjadi salah satu krisis politik paling serius sejak Hong Kong dikembalikan ke Cina oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut.

Banyak masyarakat Hong Kong yang khawatir bahwa pemerintah pusat Cina pada akhirnya akan memiliki campur tangan penuh atas hak asasi mereka. Aksi protes yang berlangsung dalam tiga bulan terakhir ini telah memukul perekonomian di kota yang terkenal sebagai pusat bisnis Asia Timur itu yang hingga saat ini berada di ambang resesi terburuk dalam satu dekade.

Pada Agustus lalu, Kamboja untuk pertama kalinya mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap mendukung Cina dalam upaya memadamkan protes di Hong Kong. Sebagai respons, Kedutaan Besar Cina untuk Kamboja di Ibu Kota Phnom Penh merilis pernyataan dalam bahasa Khmer untuk berterima kasih atas dukungan pada masalah sensitif dan tak berusaha untuk memecah belah pihak yang berkonflik.

Sebelumnya, Cina juga pernah memberikan dukungan kepada Pemerintah Kamboja dalam konflik dengan oposisi politik, LSM, dan organisasi media pada 2017.

Sementara itu, menanggapi aksi protes di Hong Kong yang telah berlarut-larut, sejumlah negera lain seperti Amerika Serikat (AS) juga mengeluarkan sikap. Awal pekan ini, Kongres negara adidaya itu mengeluarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong yang mensyaratkan peninjauan tahunan status perdagangan Hong Kong dan sanksi bagi pejabat yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Kemudian, ada rancangan undang-undang lainnya yang memungkinkan larangan penjualan amunisi ke Hong Kong. Pada awalnya, Gedung Putih mengindikasikan Presiden AS Donald Trump akan setuju dan segera menandatanganinya untuk menjadi undang-undang.

Namun, Trump kemudian memberi respons beragam mengenai sikap yang akan dipilih AS atas konflik di Hong Kong. Rancangan undang-undang yang diajukan Kongres AS diketahui telah menimbulkan reaksi keras Pemerintah Cina. Bahkan AS telah dituduh menghasut kerusuhan di kota itu semakin terjadi.

“Kami harus berdiri bersama dengan Hong Kong, namun saya juga berdiri bersama Presiden Cina Xi Jinping,” kata Trump kepada Fox News dalam sebuah wawancara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement