Sabtu 23 Nov 2019 17:59 WIB

Sisa Payung Jadi Simbol Lain Perlawanan Hong Kong

Pria bernama Kevin Cheung menyortir payung bekas demonstrasi sejak lima tahun lalu

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Pendemo di Hong Kong
Foto: EPA-EFE/FAZRY ISMAIL
Pendemo di Hong Kong

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ketika para pekerja pemerintah Hong Kong mulai membersihkan jalan setelah protes di Hong Kong pada Juni lalu, seorang pria mencoba mengamankan suatu benda. Kevin Cheung namanya. Dia memilih menyortir 36 payung dari puing-puing bekas demonstrasi.

"Saya bisa merasakan kekerasan yang terjadi pada payung dan orang-orang yang memegangnya," kata Cheung.

Baca Juga

Desainer ini melihat limbah yang dihasilkan dari sebuah protes memiliki cerita di dalamnya. Karena itu dia memilih membawa payung-payung ke tempat tinggalnya untuk didaur ulang.

Sikap itu muncul sejak lima tahun lalu. Dia membuat tempat daur ulang ketika protes "Occupy" atau "Umbrella" terjadi dan menghasilkan limbah-limbah payung berserakan.

Kondisi tersebut menginspirasi Cheung untuk memberikan kehidupan baru pada payung-payung rusak yang tersisa dari protes. Payung tersebut merupakan simbol paling terlihat dari protes pada 2014. Ketika itu, aktivis menggunakannya untuk menangkis gas air mata dan semprotan merica.

Untuk menyimpan kisah itu, besi yang menjadi kerangka payung merupakan bahan utama atas kreasi Cheung membentuk piano ibu jari. Benda itu adalah alat musik yang dimainkan dengan memetik tune metal yang terpasang pada papan kayu kecil dan pertama kali dibuatnya pada tahun 2015.

Pada 28 September, peringatan kelima "Gerakan Payung", Cheung merilis versi baru piano sembilan nada yang memainkan "Glory to Hong Kong". Lagu itu menjadi sebuah simbol tidak resmi dari gerakan protes.

Cheung mengatakan orang-orang biasa mencari kesempurnaan dalam kerajinan instrumen buatan tangannya. Namun, dalam versi "Glory to Hong Kong", justru orang mencari ketidaksempurnaan.

Kondisi payung yang dikumpulkan Cheung dan sukarelawan setelah protes mencerminkan meningkatnya kekerasan. "Seiring berjalannya waktu, payung yang rusak menjadi lebih rusak karena kekerasan telah meningkat," katanya menunjukan salah satu payung berwarna biru yang hangus berbau gas air mata.

"Semakin sulit menemukan payung secara utuh," ujarnya menunjuk pada pengumpulan payung di momen demonstrasi tahun ini.

Bahkan ketika protes kembali hadir di Hong Kong akibat rencana undang-undang ekstradisi, piano ibu jari Cheung pun ikut ambil bagian. Benda itu menjadi simbolnya untuk mengekspresikan keprihatinan dan aspirasi.

Cheung menyumbangkan hasil dari penjualan 45 piano ibu jari sekitar 250 dolar HK per buah. Dia berhasil mengumpulkan lebih dari 10 ribu dolar HK untuk dua organisasi yang mendukung para pemrotes dengan bantuan hukum atau perawatan medis.

"Kami meminta hal yang sama, hak pilih universal," kata Cheung, membandingkan protes terbaru dengan yang terjadi pada 2014. Meski tuntutan berbeda, Cheung melihat semangat yang ditampilkan pada protes yang sudah berjalan lima bulan ini sama dengan terdahulu.

Selain tuntutan berbeda, pria berusia 32 tahun ini pun melihat peralatan yang digunakan demonstran pun berbeda. Dulu pemrotes hanya memanfaatkan payung sebagai alat pelindung diri. Kali ini dia melihat helm, masker gas, bahkan perisai.

Kini benda buatannya pun menarik banyak orang. Dia pernah mendapatkan tawaran dari guru sekolah menengah baru-baru. Guru tersebut meminta Cheung untuk memimpin sebuah lokakarya dengan murid-muridnya.

Guru itu ingin muridnya dapat membuat piano ibu jari mereka sendiri dan memainkan lagu yang menyatukan kerumunan orang di demonstrasi. "Jiwa mereka terisi dengan gerakan itu. Dia khawatir tentang bagaimana mereka akan kembali ke kehidupan normal, jika ada yang bisa kita sebut normal," katanya meniru alasan guru tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement