Senin 25 Nov 2019 06:51 WIB

Pemilu Hong Kong Jadi Ujian Bagi Lam

Tingkat partisipasi pemilu lampaui 65 persen, dibanding 2015 yang hanya 47 persen.

Mahasiswa pengunjukrasa lari saat dibubarkan polisidi area kampus Hong Kong Polytechnic University. Polisi mengepung kampus dengan ratusan mahasiswa pengunjukrasa di dalamnya
Foto: Ng Han Guan/AP Photo
Mahasiswa pengunjukrasa lari saat dibubarkan polisidi area kampus Hong Kong Polytechnic University. Polisi mengepung kampus dengan ratusan mahasiswa pengunjukrasa di dalamnya

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Warga Hong Kong menunjukkan tingkat partisipasi tinggi dengan memberikan suara dalam pemilihan umum (pemilu) dewan distrik Hong Kong, Ahad (24/11). Pemilu ini seakan menjadi ujian atas dukungan kepada partai prodemokrasi atau propemerintah Hong Kong Carrie Lam.

Antrean panjang mengular di sekitar plaza dan memanjang hingga ke blok-blok lain. Pada pukul 20.30, Komisi Pemilihan Umum (EAC) mengatakan, tingkat partisipasi pemilih mencapai 66,50 persen dari 4,1 juta pemilih tercatat. Menurut BBC, persentase ini melampaui perhitungan pada empat tahun lalu yang mencapai 47 persen.

Baca Juga

Sebanyak 1,101 kandidat memperebutkan 452 kursi dan sebanyak 4,1 juta daftar pemilih. Jika orang-orang yang prodemokrasi mendapatkan kendali, mereka dapat mengamankan enam kursi di Dewan Legislatif Hong Kong. Mereka juga akan memiliki 117 kursi dari 1.200 panel yang memilih kepala pemerintah.

Salah satu pemilih bernama Tsz berusia 30 tahun mengatakan, jumlah pemilih menunjukkan semangat rakyat Hong Kong. "Tingginya tingkat partisipasi, jelas mencerminkan harapan rakyat Hong Kong untuk memiliki hak pilih universal yang sejati," katanya. Setelah memasukkan surat suara ke dalam kotak.

Pemerintahan Carrie Lam yang didukung Beijing berjanji, pemerintahannya akan lebih intensif lagi mendengar pandangan dewan distrik. "Saya berharap, stabilitas dan ketenangan seperti itu tidak hanya di hari pemilihan, tapi juga menunjukkan semua orang tidak ingin Hong Kong kembali jatuh dalam situasi yang kacau lagi," kata Lam.

Unjuk rasa di Hong Kong awalnya digelar sebagai protes terhadap rancangan undang-undang ekstradiksi yang dapat membuat seorang tersangka diadili di Cina. Tapi, tuntutan unjuk rasa itu dengan cepat berubah menjadi lima tuntutan, termasuk tuntutan demokratisasi.

Gejolak politik ini menjadi ancaman terbesar bagi Presiden Cina Xi Jinping sejak ia mulai berkuasa pada 2012 lalu. Para pengunjuk rasa beberapa kali memaksa masuk ke gedung pemerintah.

Aksi itu mengakibatkan penutupan bisnis dan sekolah-sekolah. Itu juga memicu polisi menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bom air untuk merespons bom molotov dan batu yang dilemparkan pengunjuk rasa. Namun, pada hari pemilihan jumlah polisi yang berjaga tampak sedikit.

Ming Lee, seorang pekerja di acara, mengatakan, ia berharap, tingkat partisipasi yang tinggi akan menguntungkan kelompok prodemokrasi yang berusaha mendapatkan kursi yang selama ini dikuasai pendukung Cina.

"Saya berharap, suara ini dapat melawan balik suara yang prokemapanan, jadi memberikan lebih banyak suara ke prodemokrasi, masalah sosial mendorong rakyat untuk memilih dan fokus pada isu politik," kata perempuan berusia 26 tahun itu.

Dewan distrik mengendalikan beberapa anggaran dan memutuskan sejumlah isu. Isu tersebut, misalnya, kebijakan daur ulang dan kesehatan publik.

"Kami belum tahu jika pada akhirnya demokrat bisa memenangkan mayoritas, tapi saya berharap warga Hong Kong dapat memilih untuk masa depan Hong Kong," kata Jimmy Sham, kandidat dari Civil Human Rights Front yang menggelar beberapa unjuk rasa anti-pemerintah.

Manager Restoran Jeremy Chan memandang, pemilihan ini memberikan pendukung Beijing untuk menyuarakan opini mereka. Laki-laki 55 tahun itu menggambarkan pengunjuk rasa sebagai perusuh. "Mereka yakin, mereka berjuang untuk demokrasi, berjuang untuk Hong Kong, tapi perusuh hanya mendengarkan apa yang ingin mereka dengarkan," kata Chan.

Ia menyinggung tentang vandalisme yang kerap dilakukan pengunjuk rasa terhadap bisnis yang dianggap pro-Beijing. "Kebebasan berbicara sudah kalah," katanya. n lintar satria/reuters/ap, ed: yeyen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement