Selasa 26 Nov 2019 23:00 WIB

Luksemburg Minta Uni Eropa Segera Akui Negara Palestina

Uni Eropa masih belum mengakui kedaulatan Palestina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Uni Eropa masih belum mengakui kedaulatan Palestina. Foto: Bendera Uni Eropa.
Foto: EPA/Patrick Seeger
Uni Eropa masih belum mengakui kedaulatan Palestina. Foto: Bendera Uni Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, LUKSEMBURG – Menteri Luar Negeri Luksemburg, Jean Asselborn, meminta Uni Eropa mengakui negara Palestina. Sebelumnya dia telah mengkritik Amerika Serikat (AS) karena tak lagi menganggap ilegal permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki. 

Dia mengatakan mengakui negara Palestina bukanlah sebuah bantuan. "Tapi lebih sebagai pengakuan hak rakyat Palestina untuk negaranya sendiri," ujarnya pada Selasa (26/11), dikutip laman Jerusalem Post.

Baca Juga

Menurutnya, mengakui negara Palestina bukan berarti melawan Israel. "Pengakuan Palestina oleh seluruh (anggota) Uni Eropa akan menjadi sinyal bahwa Palestina membutuhkan tanah air, sebuah negara, sama seperti Israel," kata Asselborn.

Dia menilai kegagalan untuk mematuhi hukuman internasional akan menghasilkan setidaknya lima juta pengungsi tambahan di Timur Tengah. Pengungsi itu tak lain adalah warga Palestina. "Itu tidak mungkin menjadi kepentingan Israel," ucapnya.

Anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hanan Ashrawi menyambut seruan Asselborn. Dia memandang sikap Luksemburg berprinsip dan berani. Negara itu pun merefleksikan komitmennya terhadap hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

"Luksemburg juga mencerminkan kesiapannya untuk menghadapi implikasi kebijakan AS yang gegabah dengan langkah-langkah positif yang memajukan prospek perdamaian serta keadilan. Kami meminta semua anggota Uni Eropa mengindahkan seruan Luksemburg," kata Ashrawi.

Uni Eropa sebenarnya telah menegaskan pendiriannya bahwa permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki adalah ilegal berdasarkan hukum internasional. "Posisi Uni Eropa pada kebijakan permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki jelas dan tetap tidak berubah.

Semua aktivitas permukiman ilegal di bawah hukum internasional dan itu mengikis kelayakan solusi dua negara serta prospek untuk perdamaian permanen, seperti ditegaskan kembali oleh Resolusi 2334 Dewan Keamanan PBB," kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini pekan lalu, dikutip Anadolu Agency.

Pernyataan Uni Eropa itu muncul setelah Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengumumkan perubahan sikap negaranya tentang permukiman Israel yang dibangun di wilayah Tepi Barat yang diduduki. 

Washington tidak lagi menganggap mereka ilegal. Pompeo telah menghapus pendapat hukum Departemen Luar Negeri AS tahun 1978 yang menyatakan permukiman Israel tidak konsisten dengan hukum internasional.

Palestina telah mengutuk langkah terbaru AS tersebut, sementara Israel menyambutnya dengan gembira. Dewan Keamanan PBB telah menggelar pertemuan guna membahas perubahan sikap AS terkait permukiman Israel pada Rabu (20/11).

Sebanyak 14 negara dari 15 negara anggota Dewan Keamanan mengecam AS yang tak lagi memandang permukiman Israel di Palestina ilegal. 

"Seluruh aktivitas pembangunan permmukiman (oleh Israel) adalah ilegal di bawah hukum internasional dan mengikis kemungkinan tercapainya solusi dua negara serta perdamaian yang permanen," kata Dubes Kerajaan Inggris di PBB, Karen Pierce.

Saat ini terdapat lebih dari 100 permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Permukiman itu dihuni sekitar 650 ribu warga Yahudi Israel. Masifnya pembangunan permukiman ilegal, termasuk di Yerusalem Timur, dinilai menjadi penghambat terbesar untuk mewujudkan solusi dua negara antara Israel dan Palestina. 

 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement