Kamis 28 Nov 2019 06:35 WIB

Pengunjuk Rasa Irak Bentrok dengan Polisi

Pasukan keamanan menembak mati lebih banyak pengunjuk rasa Irak dalam semalam.

Pengunjuk rasa Irak membawa bendera nasional Irak ketika mereka berkumpul di sebuah kompleks parkir di dekat alun-alun Al Khilani, di pusat kota Baghdad, Irak.
Foto: EPA-EFE/Murtaja Lateef
Pengunjuk rasa Irak membawa bendera nasional Irak ketika mereka berkumpul di sebuah kompleks parkir di dekat alun-alun Al Khilani, di pusat kota Baghdad, Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Para pemrotes menutup jalan dengan membakar ban-ban di wilayah selatan Irak dan bentrok dengan polisi di Baghdad, Rabu (27/11). Di Basra, ibu kota Irak selatan yang kaya minyak, para pengunjuk rasa mencegah aparatur sipil negara masuk kerja dengan menyusun beton penghalang dan mengecatnya menyerupai peti mati bagi mereka yang tewas dalam pekan-pekan yang kacau.

Pasukan keamanan menembak mati lebih banyak demonstran dalam semalam. Di kota suci Kerbala, selatan Baghdad, mereka menggunakan peluru tajam untuk melawan pengunjuk rasa, menewaskan dua orang.

Baca Juga

Di dekat Basra, seorang pengunjuk rasa meninggal karena luka-luka akibat tembakan. Sebanyak 344 orang tewas di seluruh negeri sejak 1 Oktober.

"Pertama, kami menuntut reformasi dan mengakhiri korupsi. Tetapi setelah pemerintah mulai membunuh pengunjuk rasa damai, kami tidak akan pergi sebelum itu digulingkan bersama dengan kelas penguasa yang korup," kata Ali Nasser, seorang lulusan teknik yang menganggur.

Reformasi pemerintah hanya menghasilkan sedikit pekerjaan bagi orang muda, tunjangan untuk orang miskin dan janji reformasi pemilu yang samar-samar yang belum mulai dibahas oleh para pembuat undang-undang. "Reformasi itu hanya kata-kata. Kami menginginkan tindakan. Kami memiliki 16 tahun janji tanpa tindakan. Kami telah dirampok selama 16 tahun," kata Alia, seorang mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun.

Protes besar dan sebagian besar damai yang terjadi di Irak adalah tantangan paling kompleks untuk kelas penguasa yang didominasi Muslim Syiah yang telah mengendalikan lembaga-lembaga negara dan jaringan patronase sejak invasi pimpinan AS pada 2003 yang menggulingkan diktator Sunni Saddam Hussein.

Sebagian besar pengunjuk rasa Syiah mengatakan politikus korup dan menyalahkan mereka untuk kegagalan Irak pulih dari konflik dan sanksi beberapa dekade meskipun situasi yang relatif tenang selama dua tahun setelah kekalahan ISIS. Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi menyatakan keprihatinannya untuk aksi kekerasan dan kerugian material akibat kerusuhan dalam pertemuan kabinet pada Selasa malam. Namun, ia menyalahkan penyabot tak dikenal atas kerusakan tersebut.

"Ada banyak martir di antara demonstran dan pasukan keamanan, banyak yang terluka dan ditangkap. Kami berusaha mengidentifikasi kesalahan yang dilakukan oleh pasukan keamanan dalam mencoba untuk mengatasi protes. Pemblokiran pelabuhan menelan biaya miliaran dolar dan banyak bangunan terbakar," katanya.

Para pemrotes telah berulang kali memblokir lalu lintas ke pelabuhan komoditas utama Irak di dekat Basra bulan ini dan telah mencoba untuk mengepung Bank Sentral di Baghdad, dan tampaknya bertekad memicu gangguan ekonomi. Pemerintah bergerak lambat dalam memberlakukan segala jenis perubahan. Janji-janji reformasi pemilu dan pemilihan umum awal belum diratifikasi oleh parlemen.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement