REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- SPBU di Lebanon akan memulai pemogokan secara nasional, Kamis (28/11). Pemogokan ini membuat kondisi Lebanon semakin jatuh di tengah krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade.
Dalam sebuah pernyataan yang dilansir kantor berita pemerintah NNA, serikat pom bensin mengatakan, pemogokan dilakukan karena kerugian yang timbul. Mereka dipaksa membeli dolar di pasar paralel karena Lebanon tidak memiliki kendali ekonomi saat ini.
Pompa bensin harus mengumpulkan pembayaran dari pelanggan dalam pound Lebanon. Hanya saja, mereka harus membayar importir bahan bakar swasta dalam dolar. Padahal, biaya dolar di pasar paralel telah melonjak sejak dimulainya protes.
Saat ini harga yang diberikan di sekitar 40 persen lebih tinggi dari tingkat resmi yang dipatok. Sejak 1997, harga yang ditetapkan adalah 1507,5 pound Lebanon.
Setelah pengumuman pemogokan, terjadi beberapa antrean di beberapa pompa bensin di Beirut Rabu malam. Meski begitu, situasi masih terkendali, tidak ada serbuan untuk memasok bahan bakar.
Protes sejak 17 Oktober telah menarik Lebanon lebih jauh ke dalam krisis ekonomi. Kondisi ini telah memperburuk krisis mata uang yang telah memukul importir dan meningkatkan kekhawatiran kenaikan harga serta kekurangan pasokan.
Bulan lalu, Bank Sentral mengatakan akan memprioritaskan cadangan mata uang asing untuk bahan bakar, obat-obatan, dan gandum. Namun, pembeli yang memanfaatkan fasilitas itu masih diharuskan memasok 15 persen dari kebutuhan dolar negara.
Kementerian Energi Lebanon menetapkan pedoman untuk tingkat harga bensin. Kementerian mengatakan akan menguji tender negara untuk bensin bulan depan setelah distributor bahan bakar mengancam menaikkan harga.
Badan Ekonomi Lebanon, kelompok sektor swasta yang mencakup industrialis dan bankir, membatalkan pemogokan tiga hari yang juga akan dimulai Kamis. Pemogokan awalnya direncanakan karena alasan kondisi ekonomi yang sulit dan kebutuhan karyawan untuk mengumpulkan gaji akhir bulan.