REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pengunjuk rasa Irak menyerbu konsulat Iran di kota Najaf selatan dan membakar gedung, Rabu (27/11). Peristiwa itu membawa kekerasan baru dalam demonstrasi yang ditujukan menjatuhkan pemerintah yang didukung Iran.
Pembakaran gedung konsulat menjadi ekspresi terkuat dari sentimen anti-Iran dalam demonstrasi Irak. Demonstran turun ke jalan selama berminggu-minggu di Baghdad dan wilayah selatan.
Polisi menyatakan, staf di konsulat dievakuasi tidak lama sebelum demonstran masuk. Belum ada laporan langsung tentang korban dalam peristiwa tersebut. Otoritas setempat pun memberlakukan jam malam setelah insiden itu.
Namun, pasukan keamanan menembak mati dua orang di Kerbala, dekat Najaf, semalam dan dua di Baghdad pada Rabu. Sementara orang kelima tewas ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan selama protes di Basra.
"Pertama, kami menuntut reformasi dan mengakhiri korupsi. Namun, setelah pemerintah mulai membunuh demonstran damai, kami tidak akan pergi sebelum digulingkan bersama dengan kelas penguasa yang korup," kata pemprotes di Basra, Ali Nasser.
Demonstran mencegah pegawai pemerintah bekerja di Basra dengan memasang penghalang beton yang dicat sebagai peti mati tiruan dari kerabat yang terbunuh dalam kerusuhan sebelumnya. Pihak berwenang telah memperingatkan terhadap eksploitasi kerusuhan oleh kelompok-kelompok bersenjata, terutama jika kekerasan terkait protes menyebar ke Irak utara, tempat milisi ISIS sedang melakukan pemberontakan.
Kelompok ekstremis Sunni pada Kamis mengklaim tiga ledakan bom di Baghdad semalam yang menewaskan sedikitnya enam orang. Hanya saja, klaim tersebut tidak disertai bukti yang mendukung.
Para pengunjuk rasa memblokir jalan-jalan dengan membakar ban di Irak selatan dan bentrok dengan polisi di Baghdad Rabu pagi. Mereka membuat kekacauan bertujuan menggunakan gangguan ekonomi sebagai pengaruh mendorong pemerintah keluar dari kekuasaan dan memberantas korupsi.
Protes yang dimulai di Baghdad pada 1 Oktober dan telah menyebar ke kota-kota selatan. Kondisi tersebut adalah tantangan paling kompleks yang dihadapi penguasa yang didominasi kelompok Syiah yang telah mengendalikan institusi negara.
Sebagian besar pengunjuk rasa Syiah mengatakan politikus korup, terikat pada kekuatan asing, terutama Iran. Mereka menyalahkan pemerintah karena kegagalan untuk pulih dari konflik bertahun-tahun meskipun relatif tenang sejak kekalahan ISIS pada 2017.