Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, mengaku bahwa pihaknya tengah mengkaji wacana penghapusan Ujian Nasional (UN). Wacana ini menjadi bahasan dalam rapat bersama hari Selasa (26/11) yang melibatkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, staf khusus Mendikbud, bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
"Itu (penghapusan UN) yang sedang kami kaji. Ditunggu kabarnya," ujar Nadiem di Jakarta, Kamis (28/11) dilansir Detiknews.
Nadiem juga mengatakan bahwa Kemendikbud tengah berupaya menciptakan kesinambungan antara sistem pendidikan dan dunia industri, sebagaimana yang diperintahkan Presiden Joko Widodo.
"Untuk mencapai itu, ada beberapa hal yang satunya adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Makanya platformnya yang kami sebutkan itu merdeka belajar," ujar mantan CEO Gojek tersebut.
Ia menambahkan, penyederhanaan kurikulum juga akan coba diterapkan oleh Kemendikbud. "Dari situ harus ada penyederhanaan dari sisi kurikulum maupun assesment agar beralih kepada yang sifatnya yang lebih kompetensi dan bukan saja menghafal informasi. Itu suatu perubahan yang akan kita terapkan dan kita sempurnakan," lanjutnya.
Baca juga: Pentingnya Pergerakan Guru dalam Reformasi Pendidikan
Menyongsong pendidikan 4.0
Pengamat pendidikan Budi Trikorayanto mendukung wacana penghapusan Ujian Nasional tesebut. Ia menilai sistem standardisasi kelulusan peserta didik di Indonesia dengan menyelenggarakan UN merupakan sistem pendidikan zaman revolusi industri 2.0 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
"Sekarang eranya bukan seperti itu. Zaman pendidikan 4.0 itu pendidikan yang open source, merdeka, dan bukan lagi berdasarkan standar serta keseragaman, tapi berdasarkan minat dan bakat masing-masing siswa. Pendidikan yang customized, personalized," ujar Budi saat diwawancarai DW Indonesia, Kamis.
Dengan dihapusnya UN, Budi menyampaikan bahwa nantinya universitas menjadi pihak yang mengevaluasi hasil proses belajar-mengajar pendidikan menengah. Menurutnya, universitas bisa menerima calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
"Kalau SMA yang evaluasi universitasnya. Kalau fakultas sastra cari anak yang beda dengan fakultas teknik, demikian juga fakultas bahasa. Bukan anak harus lulus dengan standar sekian-sekian. Anak lulus saja, selesai. Dibebaskan jangan tanggung-tanggung," terang Budi.
Budi mengatakan dengan dihapusnya UN, sekolah-sekolah di Indonesia bisa menjalankan proses pendidikan dengan menyesuaikan kondisi wilayah masing-masing. "Dengan membebaskan, kita melihat sekolah dengan konteksnya, lingkungannya, anaknya masing-masing seperti apa."
"Perwujudan keadilan"
Kepada DW Indonesia, pengamat pendidikan Profesor Arief Rachman, mengatakan ia mendukung wacana penghapusan UN ini, bahkan sejak 20 tahun silam. Ia menilai UN menyebabkan ketidakadilan terhadap penentuan standar kualitas sekolah di Indonesia. "Sedangkan distandarkan melalui UN apa adil? Gurunya beda, fasilitasnya beda, proses pembelajarannya beda," katanya.
Arif yang juga merupakan Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menyebut UN membuat para siswa hanya fokus terhadap mata pelajaran yang diujikan, sehingga memunculkan rasa ketidakpedulian terhadap mata pelajaran lain. Menurutnya, sekolah dapat meningkatkan standar ujian akhir sekolahnya (UAS) masing-masing demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.
"Kalau mendekati kelas 3 SMP, kelas 3 SMA semua hanya belajar soal UN saja. Olahraga, kesenian dihilangkan, konyol sekali PPKN dihilangkan. Itu kan mata pelajaran tentang kewarganegaraan. Di beberapa negara, civil education itu menjadi wajib. Di Indonesia kalah sama kimia, fisika," papar Arief.
Senada dengan Budi, Arief pun menilai perguruan tinggi bisa menjadi wadah evaluasi pendidikan bagi para peserta didik setelah dihapusnya UN. "Jadi PT itu buat tes tersendiri, ada yang buat tes psikotes seperti fakultas psikologi. Fakultas hukum menekankan kewarganegaraan, dia ngga peduli kimia sebab fakultas hukum soal kewarganegaaran," lanjutnya.
Baca juga: Potret Pendidikan Indonesia di Tengah Perkembangan Teknologi
Evaluasi penyelenggaraan UN
Sementara itu, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesuma mengatakan, wacana penghapusan UN menunjukkan bahwa penyelenggaraan harus dievaluasi, bukan dihapus. Menurutnya, UN adalah bagian dari standar pendidikan nasional terutama pada tingkat standar penilaian.
"UN sebagai bagian proses akuntabilitas itu harus tetap ada, tapi tujuan dan bentuknya yang harus dievaluasi. Tidak semua harus ada UN. SD ada, SMP ada, SMA ada, tidak perlu, atau mungkin kita bisa menetapkan alternatif lain untuk melihat kapasitas lulusan, apakah sudah sesuai standar yang dilakukan pemerintah. Saya rasa itu perlu dipertimbangkan," kata Doni di Jakarta, Rabu, dikutip dari Gatra.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga meminta Nadiem untuk mempertimbangkan wacana tersebut secara matang. Pemerintah diminta untuk melakukan kajian secara komprehensif mengingat kualitas proses belajar mengajar di setiap wilayah di Indonesia memiliki perbedaan.
"Metode pembelajaran dan kualitas sarana dan prasarana sekolah tidak sama antardaerah. Kompetensi guru juga tidak merata. Dalam konteks ini bisa dipahami muncul opsi untuk meniadakan Ujian Nasional,” ujar Syaiful.
Baca juga: BJ Habibie: Beri Kesempatan Pendidikan bagi Semua
Negara-negara yang tidak menerapkan UN
Ujian Nasional (UN) adalah sebuah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah serta persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan secara nasional. Pelaksanaan UN di Indonesia didasari oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Namun, tidak sedikit negara-negara yang tidak menggunakan UN sebagai penentu kelulusan siswa-siswanya, seperti di Asia, Jepang salah satunya. Negeri matahari terbit ini tidak menggunakan UN sebegai penentu kelulusan. Di sana para siswa cukup mengikuti satu kali ujian, yakni ujian masuk perguruan tinggi yang disebut dengan Senta Shiken.
Negara tetangga, Australia, juga sama sekali tidak mengenal UN. Laiknya Jepang, Australia juga menerapkan ujian yang diberi nama Australian Tertiary Admission Rank (ATAR) bagi siswa-siwanya yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah.
Sementara di Eropa, negara-negara seperti Finlandia dan Jerman juga tidak menerapkan UN. Di Jerman, para siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan hanya cukup mengikuti tes yang bernama Abitur, yakni kualifikasi yang diberikan sekolah-sekolah persiapan universitas di Jerman. Mereka yang lulus tes Abitur berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di universitas-universitas di negeri yang terletak di jantung Eropa tersebut.
Selain itu, beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga diketahui telah menghapus UN yang dikenal dengan nama High School Exit Exams. Mereka menilai ujian akhir tersebut tidak membantu siswa dalam melanjutkan jenjang pendidikan mereka, malah justru menyulitkan para siswa yang tidak lulus. Para siswa di Amerika cukup mengikuti tes-tes masuk perguruan tinggi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan, salah satunya Scholasstic Assessment Test (SAT). Namun, untuk mengikuti tes ini, siswa harus merogoh kocek mencapai lebih kurang US$100 atau setara dengan Rp1.400.000.
rap/ae (dari berbagai sumber)