REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pemerintah Myanmar membentuk unit khusus untuk menghadapi gugatan di pengadilan internasional. Unit itu akan membantu Pemerintah Myanmar menghadapi sejumlah tuntutan hukum atas kekejaman militer terhadap Muslim Rohingya pada tahun 2017.
Dalam pernyataannya, Kamis (28/11), kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi mengatakan, unit itu dirancang untuk memperkuat keahlian hukum dan memberikan saran kepada pemerintah dalam hal yang berhubungan dengan hukum pidana internasional. Unit khusus ini dipimpin oleh Kantor Kejaksaan Agung Myanmar. Mereka akan didukung oleh pakar hukum dari Kementerian Luar Negeri Myanmar dan oditur sebagai badan yang bertanggung jawab atas peradilan militer.
Saat ini pemimpin de facto dan pemenang hadiah Nobel, Suu Kyi, sedang memimpin delegasi Myanmar di pengadilan tinggi PBB. Myanmar memang sedang menghadapi tuduhan melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya di Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Sidang akan dimulai pada 10 Desember mendatang.
Operasi yang digelar militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine pada 2017 lalu membuat lebih dari 730 ribu orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Penyidik PBB menilai operasi tersebut dilakukan dengan niat genosida.
Myanmar berulang kali membenarkan tindakan keras kepada Rohingya. Mereka mengatakan, operasi militer itu dibutuhkan untuk membasmi terorisme. Mereka juga bersikeras memiliki badan sendiri yang mampu menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 12 November lalu, Gambia mengadukan Myanmar ke ICJ atas genosida terhadap warga Rohingya. Pengaduan Gambia dilakukan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Dalam pengaduan mereka, Gambia menuntut Mahkamah Internasional memerintahkan sejumlah langkah yang dapat menghentikan Myanmar melakukan genosida. Kasus ini menjadi kasus pertama yang membawa Myanmar ke pengadilan atas krisis Rohingya.
Warga muslim rohingya berada dalam rumahnya saat penyaluran bantuan berupa paket makanan di kampung muslim Theingu Gya, Sittwe, Myanmar. (ilustrasi)
Myanmar juga menghadapi dua tuntutan lainnya di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan pengadilan Argentina. Keduanya memerkarakan Aung San Suu Kyi karena telah melakukan kejahatan terhadap warga Rohingya.
ICC telah menyatakan akan memulai penyelidikan kejahatan terhadap Rohingya. ICC menilai ada dasar yang logis untuk melakukan hal tersebut karena masifnya arus pengungsi ke Bangladesh.
Namun, Pemerintah Myanmar menolak langkah penyelidikan oleh ICC. ICC dianggap tak memiliki yurisdiksi atas negara tersebut.
Juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan, negaranya bukanlah negara pihak dari Statuta Roma. Statuta Roma adalah perjanjian pendirian ICC yang bertujuan melindungi komunitas dari genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Suu Kyi dan beberapa pejabat Myanmar lainnya juga digugat di pengadilan Argentina untuk kasus Rohingya. Gugatan diajukan Rohingya dan kelompok hak asasi manusia Amerika Latin pada Rabu (13/11). Mereka bertindak di bawah prinsip yurisdiksi universal, sebuah konsep hukum yang diabadikan dalam undang-undang banyak negara.
Premisnya adalah beberapa tindakan, termasuk kejahatan perang dan kemanusiaan, tidak spesifik untuk satu negara dan dapat diadili di mana saja. n lintar satria/ap, ed: yeyen rostiyani