REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi mengisyaratkan tak menyesal mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Menurutnya hal itu menunjukkan tak ada lagi kediktatoran di negaranya.
"Ini adalah hal yang positif. Ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi kediktatoran. Pemerintah mengundurkan diri dan ini adalah bagaimana otoritas di negara-negara demokratis," kata Abdul-Mahdi dalam pertemuan kabinet pada Sabtu (30/11) malam.
Dia mengatakan Presiden Irak Barham Salih perlu menunjuk perdana menteri baru untuk disetujui parlemen. Ia berharap hal itu dapat segera menghentikan gelombang demonstrasi yang membekap Irak sejak awal Oktober lalu.
Masyarakat yang berpartisipasi dalam demonstrasi menyambut pengunduran diri Abdul-Mahdi. Namun menurut mereka hal tersebut belum cukup. Massa menuntut perombakan sistem politik yang dianggap korup dan telah menjerumuskan mereka dalam kemiskinan.
Ulama populis Irak Moqtada al-Sadr mengatakan aksi demonstrasi harus dilanjutkan. Menurutnya, masyarakat Irak harus memilih dan memutuskan siapa yang layak menjadi perdana menteri berikutnya.
"Kandidat perdana menteri berikutnya harus dipilih melalui referendum populer dan dipilih dari lima kandidat yang diusulkan," kata al-Sadr pada Jumat malam lalu.
Surat pengunduran diri Abdul-Mahdi dilaporkan telah diterima parlemen Irak. Para legislator dijadwalkan membahas hal tersebut pada Ahad (1/12).
Ulama Syiah terkemuka Irak Ali al-Sistani telah menyerukan parlemen agar mempertimbangkan kembali dukungan mereka pada pemerintahan Abdul-Mahdi. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar aksi demonstrasi yang telah banyak memakan korban jiwa dapat diakhiri.
Setelah seruan itu, Abdul-Mahdi segera menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya. Dia menyatakan tak ingin melihat Irak terjerembap dalam kekacauan.
Aksi pembakaran konsulat Iran di Kota Najaf oleh para demonstran pada Rabu lalu telah memantik kerusuhan yang kian tak terkendali di Irak. Jam malam telah diberlakukan kota tersebut.
Sehari kemudian, bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan pecah di Nassiriya. Setidaknya 50 orang dilaporkan tewas.
Aksi demonstrasi di Irak pecah pada 1 Oktober lalu. Masyarakat turun ke jalan untuk memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik, yang terbatas serta masifnya praktik korupsi di tubuh pemerintahan. Mereka mendesak Adel Abdul Mahdi mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri.
Meski sempat jeda selama tiga pekan, aksi demonstrasi masih terjadi secara sporadis di beberapa daerah di Irak. Lebih dari 350 orang dilaporkan tewas selama unjuk rasa berlangsung sejak Oktober lalu.