REPUBLIKA.CO.ID, SANA'A -- International Rescue Committee (IRC) mencatat, kegagalan perdamaian di Yaman dapat berpotensi merugikan komunitas internasional secara finansial senilai 29 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dalam bantuan kemanusiaan. IRC dalam laporan terbarunya, Senin (2/12), memperingatkan dana besar itu akan mengemuka jika perang Yaman terus berlanjut hingga lima tahun mendatang.
Laporan tersebut juga mencatat kemungkinan akan memperpanjang tingkat kelaparan di Yaman sebelum krisis pada 20 tahun seperti halnya kondisi kelaparan membaik. Peringatan itu sebagian diarahkan ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memimpin perang melawan pemberontak Houthi serta mendanai sebagian besar bantuan kemanusiaan yang sebagian besar diberikan kepada badan-badan PBB seperti World Food Programme (WFP).
Presiden IRC David Miliband, mengatakan prediksi suram ini adalah wawasan tentang biaya kolosal dari usia impunitas, di mana perang diperjuangkan dengan pengabaian penuh terhadap kehidupan sipil. Perang juga diabaikan oleh para diplomat yang dituduh mengakhiri kekerasan dan menuntut pelaku hukum internasional untuk bertanggung jawab.
"Terlebih lagi, perang di Yaman telah diperpanjang oleh dukungan militer aktif dan perlindungan diplomatik dari AS, Inggris, dan kekuatan barat lainnya," ujar Miliband seperti dikutip Guardian, Selasa (3/12).
Kabar baiknya, kata dia, adalah upaya besar oleh lembaga kemanusiaan, pemerintah donor dan pekerja bantuan telah membantu mengurangi sedikit tingkat kekurangan gizi anak di Yaman. Sementara kabar buruknya adalah, pada tingkat ini, akan dibutuhkan 20 tahun lagi hanya untuk mencapai tingkat kelaparan anak sebelum perang.
"Itu dua kali jadwal yang disepakati untuk mengakhiri kekurangan gizi di seluruh dunia," kata dia.
Langkah ini juga memperingatkan ada tanda-tanda perjanjian yang ditengahi oleh Arab Saudi bulan lalu sangat rapuh, sebab pemberontak Houthi kelihatan seperti mengabaikan unsur-unsur kunci dari perjanjian gencatan senjata di pelabuhan Laut Merah Hodeidah.
WFP pun masih berjuang mempertahankan kendali atas distribusi makanan dari para pemberontak. Sementara Inggris mengatakan, sudah mengikuti alur energi diplomatik menyoal proses perdamaian Yaman.
"Dalam beberapa bulan terakhir, terganggu oleh politik nasional yang bergejolak, pemerintah Inggris telah menarik diri dari keterlibatan yang energik dalam proses perdamaian Yaman, dicontohkan dalam dorongan tingkat tinggi untuk perjanjian Stockholm dan kunjungan ke Yaman oleh mantan menteri luar negeri, Jeremy Hunt," kata Inggris.
Dikatakan setelah pemilihan umum bulan ini, Inggris harus berdamai di Yaman dan menjadikan prioritas nomor satu bagi Kantor Asing dan Persemakmuran untuk 2020.