REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Televisi pemerintah Iran mengakui pasukan keamanan menembak dan membunuh demonstran, Selasa (2/12). Pengakuan itu datang dalam laporan yang mengritik saluran itu dalam pelaporan tentang krisis negara sejak 15 November.
Pengakuan penembakan yang membuat demonstran terbunuh merupakan pernyataan pertama kali dari pihak berwenang. Pernyataan itu menjadi bentuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang digunakan untuk menghentikan demonstrasi.
Laporan TV pemerintah menggambarkan pembunuhan terbagi dalam empat kategori. "Perusuh yang menyerang pusat-pusat militer yang sensitif atau dengan senjata api atau pisau, atau menyandera di beberapa daerah," ujar pernyataan siaran itu menyatakan demonstran adalah perusuh.
Selain itu, orang yang terbunuh adalah pejalan kaki, pasukan keamanan, dan pengunjuk rasa damai. Dalam satu kasus, laporan itu mengatakan pasukan keamanan menghadapi kelompok separatis di kota Mahshahr yang dipersenjatai dengan senjata semi-berat.
"Selama berjam-jam, perusuh bersenjata telah melakukan perjuangan bersenjata. Dalam keadaan seperti itu, pasukan keamanan mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa orang-orang Mahshahr," ujar laporan tersebut merujuk pada provinsi Khuzestan, Iran Barat, yang menghadapi demonstrasi kuat.
Amnesty International mengatakan setidaknya 208 orang tewas dalam protes dan tindakan keras dalam demonstrasi di Iran. Atas laporan itu, pejabat Iran membantah temuan tersebut meskipun tidak ada bukti yang diajukan.
"Kami telah melihat lebih dari 200 orang terbunuh dalam waktu yang sangat cepat, dalam waktu kurang dari sepekan," kata peneliti Iran di Amnesty International Mansoureh Mills.
Mills menyatakan peristiwa itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pelanggaran HAM di negara tersebut. Namun, penyataan itu pun disangkal oleh pemerintah Iran.
"Saya secara eksplisit mengumumkan jumlah dan angka yang diberikan oleh kelompok-kelompok yang bermusuhan adalah kebohongan yang sangat besar dan statistik memiliki perbedaan serius dengan apa yang mereka umumkan," kata juru bicara pengadilan Gholamhossein Esmaili dikutip dari Aljazirah.
Esmaili mengatakan jumlah dan nama yang dirilis Amnesty International hanya kebohongan yang dibuat-buat. Nama yang disebutkan diklaim masih hidup dan beberapa meninggal dunia karena alasan alamiah, bukan terbunuh karena demonstrasi.
Iran belum merilis statistik nasional atas kerusuhan yang mencengkeram negara. Kerusuhan bermula karena harga minimum untuk bahan bakar bersubsidi pemerintah naik sebesar 50 persen.
Pemerintah pun memutus akses internet di tengah kerusuhan. Kondisi ini menghalangi orang-orang di dalam negeri berbagi informasi dan membatasi dunia luar mengetahui perkembangan protes. Pemulihan internet baru terjadi dalam beberapa hari terakhir di sebagian besar wilayah.