Rabu 04 Dec 2019 20:12 WIB

Rusia: Eropa Barat Harus Terlibat Perundingan Senjata Nuklir

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia memperingatkan risiko terjadinya perang nuklir.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Pemerintah Rusia mengatakan negara-negara Eropa Barat harus terlibat dalam perundingan tentang perjanjian kontrol senjata nuklir baru pascaruntuhnya kesepakatan Intermediate-Range Nuclear Forces (INF). Foto ilustrasi misil nuklir Rusia.
Pemerintah Rusia mengatakan negara-negara Eropa Barat harus terlibat dalam perundingan tentang perjanjian kontrol senjata nuklir baru pascaruntuhnya kesepakatan Intermediate-Range Nuclear Forces (INF). Foto ilustrasi misil nuklir Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, SOCHI -- Pemerintah Rusia mengatakan negara-negara Eropa Barat harus terlibat dalam perundingan tentang perjanjian kontrol senjata nuklir baru pascaruntuhnya kesepakatan Intermediate-Range Nuclear Forces (INF).

Juru bicara Kremlin Dmitry Pesov mengungkapkan Moskow mendukung pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang mengatakan negara-negara Eropa Barat harus terlibat dalam perundingan perjanjian pengendalian senjata nuklir. Dia menilai, tak hanya China yang harus terlibat dalam perundingan demikian sebagaimana desakan Amerika Serikat (AS).

Baca Juga

"Esensinya adalah kita berbicara tentang runtuhnya INF dan kebutuhan menebusnya dengan sesuatu yang lain, maka seseorang tidak dapat mengangkat masalah hanya partisipasi Beijing. Pertama-tama, perlu berbicara tentang negara-negara Eropa Barat, di mana rudal jarak menengah dan pendek juga dikerahkan," kata Peskov pada Rabu (4/12), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov telah memperingatkan tentang risiko terjadinya perang nuklir. Ia mengklaim telah melihat gejala atau indikasi yang memungkinkan terjadinya hal tersebut. “Ada risiko perang nuklir. Dinamika negatif telah sangat terlihat selama setahun terakhir,” kata Ryabkov pada 12 September lalu.

Dia berpendapat gerakan negara-negara Barat menjadi lebih emosional dan terkadang agresif. “Mereka menghindari diskusi substantif tentang isu-isu yang sudah lewat dan menghambat pekerjaan saluran dialog, terus menghancurkan arsitektur pengendalian senjata,” ucapnya.

Selain itu, Ryabkob menilai Barat secara sengaja mengejar garis destruktif dengan menghancurkan perjanjian efektif dalam bidang keamanan serta stabilitas. Padahal perjanjian tersebut telah dipertahankan selama puluhan tahun.

“Ini adalah perilaku yang sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Ini mungkin memicu konsekuensi yang agak negatif untuk stabilitas strategis,” ujar Ryabkov.

Rusia dan AS diketahui telah sama-sama keluar dari perjanjian INF yang ditandatangani pada 1987. Perjanjian itu melarang kedua negara untuk memproduksi serta memiliki rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer.

Awal Agustus lalu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan negaranya siap mengembangkan rudal balistik jenis baru yang sebelumnya dilarang di bawah INF. “Sekarang setelah kami mundur, Departemen Pertahanan akan sepenuhnya mengejar pengembangan rudal konvensional yang diluncurkan di darat ini sebagai respons yang bijaksana terhadap tindakan Rusia dan sebagai bagian dari portofolio opsi serangan konvensional yang lebih luas dari Pasukan Gabungan,” katanya.

Dia pun menilai keputusan AS mundur dari INF tepat. Sebab Washington tidak akan tetap menjadi pihak dalam perjanjian itu, sementara Rusia melakukan pelanggaran yang disengaja. “Departemen Pertahanan akan bekerja sama dengan sekutu kita saat kita bergerak maju dalam mengimplementasikan Strategi Pertahanan Nasional, melindungi pertahanan nasional kita, dan membangun kapasitas mitra,” ujar Esper.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement