REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Para pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh berharap Myanmar dapat diadili dan dimintai perntanggungjawaban atas kekerasan serta kejahatan yang dilakukannya terhadap mereka. Myanmar akan menjalani persidangan perdana dugaan genosida terhadap Rohingya di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
Mohammed Zobayer mengungkapkan dia dan orang-orang Rohingya lainnya di Negara Bagian Rakhine telah menyaksikan militer Myanmar melakukan pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. "Kami melihat banyak yang terbunuh di depan mata kami. Yang bisa kami lakukan hanyalah berlari, sementara rumah kami terbakar," ucap remaja berusia 19 tahun itu.
Menurut dia, sudah saatnya komunitas global bertindak dan menuntut pertanggunngjawaban Myanmar. "Mereka (Myanmar) harus bertanggung jawab atas genosida terhadap Rohingya," ujar Mohammed.
Ia mengatakan para pengungsi Rohingya di Bangladesh sangat menanti untuk menyaksikan jalannya persidangan. "Tapi kami tidak yakin apakah kami akan dapat mendengarnya sama sekali karena konektivitas internet yang buruk di sini," katanya.
Nur Alam turut menantikan persidangan terhadap Myanmar di ICJ. Pada Agustus 2017, Nur kehilangan anak karena tentara Myanmar menembaknya hingga tewas. Kejadian tersebut telah melunturkan kepercayaannya terhadap pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
"Suatu ketika Aung San Suu Kyi adalah ikon perdamaian dan kami memiliki harapan besar bahwa segalanya akan berubah ketika dia berkuasa. Kami berdoa untuknya. Tapi sekarang dia telah menjadi ikon genosida," kata Nur.
Menurut dia alih-alih melindungi Rohingya, kini Suu Kyi justru bergandengan tangan dengan para pelaku pembantaian. "Sekarang dia akan membela para pembunuh. Kami membencinya," ucapnya.
"Dia (Suu Kyi), tentara, dan pembunuh anak saya harus dihukum. Saya sudah merindukan hari ini untuk tiba. Saya tidak akan menyesal dalam hidup jika saya melihat mereka dihukum," kata Nur.
Pengungsi Rohingya lainnya, Rashid Ahmed, mengatakan tentara Myanmar telah membunuh 12 anggota keluarganya. "Hanya keadilan yang bisa menyembuhkan luka kita. Saya tahu saya tidak akan penah mendapatkan mereka kembali. Tapi mereka akan beristirahat dengan tenang ketika pembunuh mereka dihukum," ujarnya.
Momtaz Begum telah kehilangan suaminya. "Tentara membunuh suami saya. Mereka memperkosa saya dan membakar rumah saya. Mereka menikam kepala anak perempuan saya yang berusia enam tahun. Saya telah belajar bahwa akan ada pengadilan terhadap Aung San Suu Kyi dan tentara," kata wanita berusia 31 tahun tersebut.
Hingga kini, Momtaz benar-benar belum memahami mengapa tentara Myanmar membunuh orang-orang Rohingya termasuk anak-anak yang tak berdosa. "Mengapa mereka menyiksa dan memperkosa wanita kami? Kami menuntut keadilan," ucapnya.
Sama seperti Momtaz, Jamalida Begum juga telah kehilangan suaminya. Tentara Myanmar juga memperkosanya secara brutal. "Saya melarikan diri ke sini (Bangladesh) setelah tentara memasang poster besar dengan foto saya dan pergi dari rumah ke rumah mencari cara karena saya memberi wawancara pada wartawan asing setelah insiden brutal tersebut," kata dia.
Tak ada hal lain yang diinginkan Jamalida selain keadilan. "Saya ingin hukuman bagi mereka yang memperkosa kami, membunuh orang-orang kami, membakar rumah kami, melemparkan anak-annak kami ke dalam api," ujarnya.
Aung San Suu Kyi dilaporkan telah tiba di Den Haag pada Ahad (8/12). Dia memimpin delegasi Myanmar untuk menghadapi persidangan ICJ yang dijadwalkan digelar pada 10-12 Desember. Dia hendak membela negaranya dari tudingan genosida.
Gambia yang mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah pihak yang membawa kasus dugaan genosida terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gugatan diajukan pada awal November lalu. "Gambia membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional (ICJ) karena Gambia yakin bahwa Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida," ujar Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou dalam wawancara khusus dengan Anadolu Agency, dirilis pada Senin (9/12).
Menurut dia, apa yang terjadi di Negara Bagian Rakhine merupakan sesuatu yang mengerikan. "Dunia harus meminta pertanggungjawaban Myanmar atas tindakan ini dan satu cara untuk melakukan hal itu adalah proses hukum yang telah dilakukan Gambia," ucapnya.