REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina dilaporkan memerintahkan seluruh badan pemerintah untuk mengganti semua perangkat keras dan perangkat lunak komputer produksi asing dalam tempo tiga tahun. Langkah itu diperkirakan akan memukul perusahaan seperti Microsoft, Dell, dan HP.
Laman Financial Times adalah media yang kali pertama melaporkan hal tersebut dengan mengutip catatan perusahaan pialang China Securities. Kebijakan Pemerintah Cina itu dijuluki "3-5-2". Pasalnya, penggantian semua perangkat keras dan lunak akan terjadi pada kecepatan 30 persen pada 2020, 50 persen pada 2021, dan 20 persen pada 2022.
Analis memperkirakan bahwa 20 juta-30 juta unit peralatan komputer asing perlu diganti di Cina. China Securities mengatakan, perintah untuk mengganti perangkat keras dan lunak komputer produksi asing datang dari Kantor Pusat Partai Komunis Cina (PKC) pada awal 2019. China Securities serta Kementerian Perindustrian dan Teknologi Cina masih belum memberikan pernyataan terkait hal itu.
"Itu adalah sesuatu yang Cina cari untuk memastikan operasi pemerintah tidak terpengaruh oleh meningkatnya ketegangan dengan AS," ujar kepala penelitian teknologi, media, dan telekomunikasi di Mirabaud Securities, Neil Campling, dikutip CNBC, Senin (9/12).
Analis dari the Economist Intelligence Unit (EIU) Nick Marro menilai kebijakan tersebut merupakan salah satu langkah paling langsung yang diambil Cina terhadap perusahaan teknologi Amerika Serikat (AS) selama perang dagang antara kedua negara.
Menurut dia, badan atau kantor pemerintah di Cina sering menggunakan perangkat komputer produksi dalam negeri, seperti Lenovo. Namun, perangkat keras produksi HP dan Dell juga digunakan di Cina. Sementara itu, untuk perangkat lunak, Beijing tak memiliki alternatif selain Microsoft Windows.
"Diskriminasi terhadap teknologi asing telah menjadi bagian dari kerangka kebijakan di Cina selama bertahun-tahun sekarang. Namun, itu adalah sesuatu yang sudah dikenal USTR (Perwakilan Dagang AS)," ujar Marro. Dia menilai kebijakan tersebut mungkin akan merumitkan diskusi tentang bagaimana perusahaan teknologi serta telekomunikasi Cina seperti Huawei dan ZTE dapat mengakses pasar AS.
Huawei telah melawan keputusan Pemerintah AS yang mengklasifikasikannya sebagai ancaman keamanan nasional. Menurut Huawei, tak ada bukti yang mendukung keputusan tersebut. Huawei telah meminta Pengadilan Banding AS membatalkan keputusan memasukkan Huawei sebagai ancaman keamanan nasional.
"Pemerintah AS tidak pernah memberikan bukti nyata untuk menunjukkan bahwa Huawei adalah ancaman keamanan nasional. Hal itu karena bukti ini tidak ada," ujar kepala pejabat hukum Huawei Song Liuping saat berbicara pada sebuah konferensi pers di Shenzhen, dikutip BBC, Kamis (5/12).
Pada Mei, Huawei juga telah menggugat keputusan AS yang melarang badan pemerintah dan perusahaan AS membeli peralatan mereka. Alasan AS adalah Huawei diduga melakukan kegiatan spionase untuk Pemerintah Cina.
Huawei pun terguncang. Mereka tak dapat lagi menjalin kerja sama dengan Google. Padahal, selama ini semua produk ponsel pintar miliknya menggunakan sistem operasi yang dikembangkan Google. Namun, Huawei sesumbar akan membangun sistem operasinya sendiri.
Meskipun menghadapi tekanan dari AS, Huawei menjadi aktor utama dalam pengembangan dan penjualan teknologi jaringan seluler generasi kelima atau 5G. AS telah menekan sejumlah negara agar tak mengizinkan Huawei membangun infrastruktur 5G di wilayah mereka.
Pada Mei, editor surat kabar Global Times di Cina, Hu Xijin, mengatakan, putusnya kerja sama antara Huawei dan perusahaan teknologi AS tidak akan berakibat fatal bagi Huawei. "Memotong layanan teknis untuk Huawei akan menjadi titik balik nyata dalam keseluruhan penelitian dan pengembangan Cina serta penggunaan cip (produksi) dalam negeri. Rakyat Cina tidak akan lagi memiliki ilusi tentang penggunaan teknologi AS secara terus-menerus," ujar Hu, dikutip laman the Guardian. n kamran dikarma/reuters, ed: yeyen rostiyan