Selasa 10 Dec 2019 08:49 WIB

Aktivis HAM Serukan Dunia Boikot Myanmar

Suu Kyi dijadwalkan menghadiri sidang perdana Rabu (11/12).

Foto kompilasi pengungsi Rohingya di Gundum dan Kutupalong yang mengaku menjadi korban perkosaan militer Myanmar.
Foto: Wong May E/AP Photo
Foto kompilasi pengungsi Rohingya di Gundum dan Kutupalong yang mengaku menjadi korban perkosaan militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam kelompok the Free Rohingya Coalition (FRC) menyerukan boikot global terhadap Myanmar. Seruan itu digelorakan saat Myanmar akan menghadapi persidangan perdana dugaan tindakan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.

FRC menyatakan telah memulai Kampanye Boikot Myanmar dengan 30 organisasi di 10 negara. Mereka menyerukan perusahaan, investor asing, serta organisasi profesional maupun budaya untuk memutuskan hubungan kelembagaan dengan Myanmar.

Baca Juga

"Boikot bertujuan membawa tekanan ekonomi, budaya, diplomatik, dan politik pada pemerintahan kaolisi Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer," kata FRC dalam pernyataan pada Senin (9/12).

Aung San Suu Kyi dilaporkan telah tiba di Den Haag pada Ahad (8/12). Dia memimpin delegasi Myanmar untuk menghadapi persidangan ICJ yang dijadwalkan digelar pada 10-12 Desember. Dia membela negaranya dari tudingan genosida.

Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menjadi pihak yang membawa kasus dugaan genosida terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gugatan diajukan pada awal November lalu.

"Gambia membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional (ICJ) karena Gambia yakin bahwa Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida," ujar Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou dalam wawancara khusus dengan Anadolu Agency, dirilis pada Senin (9/12).

Menurut dia, apa yang terjadi di Negara Bagian Rakhine merupakan sesuatu yang mengerikan. "Dunia harus meminta pertanggungjawaban Myanmar atas tindakan ini. Satu cara untuk melakukan hal itu adalah proses hukum yang telah dilakukan Gambia," ucapnya.

photo
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

Tambadou mengaku telah mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh. Menurut dia, apa yang dilihatnya di sana mengingatkannya pada genosida Rwanda.

"Ketika saya duduk di sana bersama para pengungsi dan mereka menceritakan kisah-kisah mereka kepada saya, kisah-kisah ketidakberdayaan dalam menghadapi pemerkosaan massal, pembunuhan massal, itu membawa kembali kenangan menyakitkan tentang genosida Rwanda 1994. Kisah-kisah itu terlalu akrab bagi saya dengan satu setengah dekade interaksi dengan para korban genosida itu," kata Tambadou.

Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tetapi menggugat negara lain sebelum ICJ. Gambia dan Myanmar diketahui merupakan negara pihak dalam Konvensi Genosida yang memberikan kewajiban, termasuk pencegahan dan hukuman kejahatan genosida.

Pada Agustus 2017 lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi keji untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Pada Agustus 2018 Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). n reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement