REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah tiba di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, pada Selasa (10/12). Ia hendak mengikuti sidang perdana dugaan genosida terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Suu Kyi hadir dengan mengenakan pakaian tradisional Myanmar. Dia sama sekali tak berbicara kepada awak media saat memasuki pengadilan. Seorang hakim Afrika Selatan berpengalaman, Navanethem Pillay, dan mantan komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia Claus Kress, telah ditunjuk sebagai hakim ad hoc dalam kasus tersebut.
Komisioner di International Commission of Jurists Reed Brody mengungkapkan belum pernah terjadi sebelumnya pemimpin politik tertinggi seperti Suu Kyi mengambil peran utama dalam sebuah kasus hukum di ICJ. "Secara hukum itu bisa menjadi kontraproduktif bagi Suu Kyi untuk mengambil peran seperti itu karena sepertinya dia mempolitisasi kasus ini," ujarnya, dikutip laman Aljazirah.
"ICJ mengikuti tradisi dan protokol diplomatik dan saya ragu para hakim akan terkesan dengan kelompok tur yang tiba dari Myanmar untuk mendukung pemerintah," ujar Brody.
Para pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, berharap Myanmar dapat diadili dan dimintai perntanggungjawaban atas kekerasan serta kejahatan yang dilakukannya terhadap mereka.
Mohammed Zobayer (19 tahun) mengungkapkan dia dan orang-orang Rohingya lainnya di Negara Bagian Rakhine telah menyaksikan militer Myanmar melakukan pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. "Kami melihat banyak yang terbunuh di depan mata kami. Yang bisa kami lakukan hanyalah berlari, sementara rumah kami terbakar," ucapnya.
Menurut dia, sudah saatnya komunitas global bertindak dan menuntut pertanggunngjawaban Myanmar. "Mereka (Myanmar) harus bertanggung jawab atas genosida terhadap Rohingya," ujar Mohammed.
Nur Alam (65 tahun) turut menantikan persidangan terhadap Myanmar di ICJ. Pada Agustus 2017, Nur kehilangan anaknya. Tentara Myanmar menembaknya hingga tewas. Kejadian tersebut telah melunturkan kepercayaannya terhadap Suu Kyi. "Suatu ketika Aung San Suu Kyi adalah ikon perdamaian dan kami memiliki harapan besar bahwa segalanya akan berubah ketika dia berkuasa. Kami berdoa untuknya. Tapi sekarang dia telah menjadi ikon genosida," kata Nur.
Menurut dia, alih-alih melindungi Rohingya, kini Suu Kyi justru bergandengan tangan dengan para pelaku pembantaian. "Sekarang dia akan membela para pembunuh. Kami membencinya," ucapnya."Dia (Suu Kyi), tentara, dan pembunuh anak saya harus dihukum. Saya sudah merindukan hari ini untuk tiba. Saya tidak akan menyesal dalam hidup jika saya melihat mereka dihukum," kata Nur.
Pengungsi Rohingya lainnya, Rashid Ahmed (35 tahun), mengatakan tentara Myanmar telah membunuh 12 anggota keluarganya. "Hanya keadilan yang bisa menyembuhkan luka kita. Saya tahu saya tidak akan penah mendapatkan mereka kembali, tapi mereka akan berisitirahat dengan tenang ketika pembunuh mereka dihukum," ujarnya.
Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), adalah pihak yang membawa kasus dugaan genosida terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gugatan diajukan pada awal November lalu. Gambia meyakini Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida. Kedua negara merupakan pihak dari konvensi tersebut.