REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin sejak Senin (9/12) berada di Abu Dhabi untuk menghadiri Konferensi tentang “Toleransi, Dari Kemungkinan kepada Keniscayaan” (At-Tasamuh Minal Imkan ilal Ilzam /Tolerance From Possibility to Necessity).
Ini merupakan konferensi keenam yang diselenggarakan oleh Forum Promosi Perdamaian dalam Masyarakat Islam (Muntadat Ta’zis Silmi fil Mujtama’at al-Islamiyah/Forum for Promoting Peace in Muslim Societies), ang dipimpin oleh Syaikh Abdullah Bin Bayyah, seorang ulama terkemuka di dunia dewasa ini.
Konperensi dihadiri oleh sekitar 300 tokoh berbagai agama dari berbagai negara. Dari Indonesia, selain Din Syamsuddin, hadir Prof Amany Lubis (rektor UIN Jakarta), Prof Amal Fathullah Zarkasyi (rektor Unida Gontor), Prof Khuzaimah Y Tanggo (rektor IIQ), KH Abdullah Jaidi (ketua MUI), dan Dr Zaitunah (dosen UIN Jakarta).
Dalam konferensi dibahas beberapa aspek dari pengembangan budaya toleransi dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti formulasi baru toleransi, etika toleransi, peluang bagi perdamaian, dan Aliansi Keutamaan (Alliance of Virtous). Yang terakhir merupakan tajuk dari Deklarasi Washington yang disepakati pada Konperensi 2018.
Aliansi Keutamaan merupakan upaya mengangkat nilai-nilai keutamaan dari berbagai agama untuk ditampilkan sebagai lingkaran kebenaran. Lingkaran Keutamaan (Virtous Circle) diharapkan dapat menggantikan Lingkaran Setan (Vicious Circle) yang melilit peradaban dunia dewasa ini.
Din Syamsuddin menyambut baik pembahasan tentang toleransi ini dan menganggapnya sebagai pilar kehidupan dunia yang majemuk. Menurut Din, pengembangan kemajemukan menuntut beberapa prasyarat, antara lain (a) pengakuan akan kemajemukan, (b) kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai, (c) toleransi, dan (d) kerja sama.
Toleransi, lanjut Din, adalah sikap dan pandangan mengakui bahwa di antara anasir masyarakat majemuk ada persamaan dan ada perbedaan. “Toleransi adalah menghargai perbedaan disertai tenggang rasa terhadap perbedaan itu,” kata seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (10/12).
Konferensi tentang toleransi di Abu Dhabi, menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini, membawa pesan kuat dan relevan dengan bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan. “Untuk menjaga keutuhan, kerukunan, dan persatuan maka toleransi merupakan prasyarat mutlak. Dengan demikian, toleransi bukan sekedar kemungkinan, tapi adalah keniscayaan,” ujarnya.
Namun, Din mengingatkan, agar tidak ada satu kelompok yang mudah mengklaim paling toleran dan kelompok lain intoleran.”Klaim sepihak yang bersifat subyektif seperti itu justeru akan merusak iklim toleransi yang ada,” tuturnya.
Tuduhan sepihak seperti itu, kata Din, sering muncul sebagai bermotif politik, dan dengan demikian sikap itu sejatinya merupakan bentuk intoleransi. Dari pada mengembangkan pendekatan bernada fobia demikian, sebaiknya bangsa mengembangkan budaya toleransi sejat. “Jika ada masalah di antara kelompok-kelompok, sebaiknya dikembangkan budaya dialog. Dialog adalah cara bermartabat untuk mengatasi yang ada,” paparnya.
Dari Abu Dhabi, Din Syamsuddin sebagai Presiden Asian Conference on Religions for Peace (ACRP) melanjutkan perjalanan ke New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri Pertemuan Para Tokoh Agama-Agama Dunia Multi Religious Partnership for Peace and Development) yang diselenggarakan oleh Religions for Peace. Pada pertemuan itu, Din Syamsuddin menjadi moderator pada sesi tentang peran agama dalam menanggulangi krisis lingkungan hidup.