Rabu 11 Dec 2019 12:12 WIB

AS Beri Sanksi kepada Panglima Militer Myanmar

AS memberikan sanksi terhadap empat pemimpin militer Myanmar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8). AS memberikan sanksi terhadap empat pemimpin militer Myanmar atas konflik Rohingya. Ilustrasi.
Foto: Rafiqur Rahman/Reuters
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8). AS memberikan sanksi terhadap empat pemimpin militer Myanmar atas konflik Rohingya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi terhadap empat pemimpin militer Myanmar. Sanksi juga dijatuhkan termasuk kepada panglima tertinggi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya dan minoritas lainnya.

Sanksi tersebut diberikan bersamaan dengan kehadiran Aung San Suu Kyi dalam audiensi hari pertama di pengadilan internasional di Den Haag. Departemen Keuangan AS menyatakan pasukan militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup serius di bawah komando Kepala Militer Min Aung Hlaing.

Baca Juga

Tindakan keras militer pada 2017 di Myanmar mendorong lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Penyelidik PBB mengatakan operasi militer Myanmar mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang meluas serta eksekusi dengan niat genosida.

“Selama masa ini, anggota kelompok etnis minoritas terbunuh atau terluka oleh tembakan. Sering kali ketika melarikan diri atau oleh tentara yang menggunakan senjata berbilah besar, yang lain dibakar hingga mati di rumah mereka sendiri, ” demikian pernyataan Departemen Keuangan AS.

Sanksi itu juga menargetkan wakil panglima militer, Soe Win, dan dua bawahan yang memimpin divisi pasukan elit dan memelopori tindakan keras terhadap Rohingya. Laporan khusus Reuters tahun lalu merinci peran utama dua unit militer Myanmar, Divisi Infantri Cahaya ke-33, yang dipimpin oleh Than Oo, dan Divisi Infanteri Cahaya ke-99, yang dipimpin oleh Aung Aung, dalam konflik 2017.

Divisi Infantri Cahaya ke-33 memimpin operasi militer di desa Inn Din. Reuters mengekspos pembantaian 10 pria dan anak laki-laki Rohingya oleh tentara dan penduduk desa Buddha. Dua wartawan Reuters yang menulis laporan berita tersebut dipenjara selama lebih dari 500 hari.

Tidak diketahui apakah para jenderal Myanmar tersebut memiliki aset di AS. Hingga berita ini diturunkan, Kedutaan Besar Myanmar di Washington tidak memberikan tanggapan. Departemen Keuangan mengatakan sanksi itu bertujuan untuk mendukung transisi menuju demokrasi di Myanmar.

Direktur Advokasi Asia untuk Human Rights Watch, John Sifton, menyambut baik langkah AS yang memberikan sanksi kepada para jendral militer Myanmar. Namun menurutnya, pemberian sanksi ini terlambat.

“Sangat disayangkan keputusannya begitu lama. Kejahatan yang dipermasalahkan ini sangat serius. Jika Uni Eropa mengikuti langkah serupa dengan AS, maka akan membuat militer Myanmar terpuruk secara geografis dan finansial," ujar Sifton.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement