REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para menteri luar negeri Uni Eropa (UE) diperkirakan akan membahas soal nasib kebijakan Timur Tengah bulan depan. Mereka disebut akan bertukar pandangan soal apakah blok beranggotakan 28 negara ini harus mengakui Palestina sebagai negara bardaulat.
Sebab, di sisi lain Amerika Serikat mendukung permukiman dan pendudukan Israel, yang merusak prospek solusi dua negara untuk konflik Palestina-Israel. Dilansir di Al Bawaba, Kamis (12/12), Irlandia dan Luksemburg adalah di antara negara-negara anggota UE yang berupaya mengangkat masalah ini pada pertemuan Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa di Brussels pada 20 Januari 2020 mendatang.
Pada Senin lalu, kepala kebijakan luar negeri UE, Josep Borrell, mengatakan bahwa para diplomat utama akan membahas soal apakah blok UE harus mengubah kebijakan Timur Tengah menyusul kebijakan Washington pada legalitas Israel.
Di samping, adanya sejumlah kekhawatiran bahwa AS bisa terus mengambil keputusan dengan langkah kebijakan mereka seperti itu.
Borrel mengungkapkan itu merujuk pada pengumuman Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bulan lalu. Saat itu, Pompeo mengatakan bahwa pembentukan permukiman di Tepi Barat yang diduduki Israel tidak semata-mata tidak konsisten dengan hukum internasional.
Borrel mengatakan, bahwa proses perdamaian Timur Tengah memang ada di masa yang sulit. Ia mengaku bahwa UE tetap memegang posisi mereka, yakni solusi dua negara yang dinegosiasikan.
Namun, jika mereka menginginkan solusi dua negara, Borrell mengatakan bahwa mereka perlu membantu dan mendorong kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi yang serius dan kredibel.
"Pengakuan bukan kompetensi Uni Eropa. Ini adalah tanggung jawab masing-masing negara anggota. Tetapi sebagai Uni Eropa, kami terus mendukung solusi dua negara. Dan apa yang telah kami putuskan ialah pada Januari, kami akan mencurahkan satu poin dari agenda untuk membahas secara mendalam situasi di Timur Tengah dan Proses Perdamaian Timur Tengah," kata Borrell.
Dia menekankan bahwa pengakuan Palestina adalah di antara masalah yang sangat memecah belah di antara negara anggota UE. P
ada Ahad lalu, Menlu Luksemburg Jean Asselborn mengirim surat kepada rekan-rekannya di UE. Asselborn mengatakan, satu-satunya cara untuk menyelamatkan tawaran dua-negara adalah menciptakan situasi yang lebih adil antara Israel dan Palestina.
Menurutnya, sudah waktunya untuk memulai debat di UE mengenai peluang pengakuan negara Palestina oleh semua negara anggotanya.
"Pengakuan seperti itu tidak akan menjadi cek kosong, tetapi pengakuan sederhana dari hak rakyat Palestina untuk negara mereka sendiri," kata Asselborn.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa harapan untuk solusi dua negara kian hari terus dirusak. Menurutnya, kebijakan pendudukan dan penghancuran berisiko menggantikan solusi dua-negara dengan realitas satu-negara. Hal itu, kata dia, akan ditandai dengan konflik yang terus-menerus, pendudukan, dan hak-hak yang tidak setara.
Palestina telah berupaya menciptakan negara merdeka di wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur Al-Quds.
Pada November 2012, Majelis Umum PBB memberikan suara untuk meningkatkan status Palestina dari entitas pengamat non-anggota menjadi negara pengamat non-anggota.
Meskipun, langkah PBB itu ditentang keras Israel. Bendera nasional Palestina sendiri dikibarkan untuk pertama kalinya di markas PBB di New York, AS, pada September 2015. (Kiki Sakinah)