REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Seorang pengungsi Rohingya bernama Hasina Begum melakukan perjalanan dari Bangladesh ke Den Haag, Belanda untuk mengadiri persidangan terkait tuduhan kejahatan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Begum mengatakan kepada BBC bahwa 10 anggota keluarganya telah dibunuh oleh militer Myanmar dan dia meminta keadilan.
"Kami datang ke sini dengan berani untuk mengatakan jika pasukanmu tidak melakukan tindakan ini, mengapa kita meninggalkan negara ini dan mengapa kerabat kita menghilang?," ujar Begum.
Para pendukung Suu Kyi telah berkumpul di luar pengadilan selama tiga hari. Mereka memegang papan yang bertulisakan We stand with Aung San Suu Kyi. Di sisi lain Begum menyatakan sikap kebenciannya terhadap Suu Kyi. Menurut Begum, Suu Kyi lebih memberikan dukungan kepada militernya ketimbang rakyatnya.
"Kami tidak suka melihat wajahnya, kami tidak mendukungnya. Dia tidak mendukung rakyatnya, dia mendukung militernya," kata Begum.
Dalam persidangan pada Rabu (11/12), Suu Kyi berupaya keras untuk membela negaranya dari tuduhan genosida. Dia mengatakan apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017 merupakan respons kontraterorisme.
Saat itu kelompok milisi bersenjata Rohingya yang dikenal dengan nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang puluhan kantor polisi di Rakhine. Militer kemudian menanggapi dengan mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut guna memburu dan menangkap anggota ARSA.
Suu Kyi tak menampik bahwa kekuatan berlebih memang digunakan militer negaranya. "Tragisnya konflik bersenjata ini menyebabkan eksodus beberapa ratus ribu Muslim," ujarnya dalam persidangan.
Suu Kyi juga berpendapat bahwa Gambia telah melukiskan gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan terkait apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017. Masih banyak informasi keliru dan tak tepat yang disampaikan di pengadilan.
Gambia mengajukan tuduhan ke pengadilan internasional (ICJ) terkait upaya pembasmian etnis Rohingya melalui operasi militer Myanmar. Operasi tersebut telah melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan membakar rumah-rumah warga Rohingya.
Tim pencari fakta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelidiki tuduhan itu. Mereka menemukan bukti kuat yang menyatakan bahwa pasukan militer Myanmar harus diselidiki karena melakukan pembantaian besar-besaran terhadap satu suku (genosida) di Rakhine.
Pada Mei, tujuh tentara Myanmar dipenjara karena membunuh 10 pria dan anak laki-laki Rohingya. Namun mereka dibebaskan lebih awal dari hukuman yang semestinya. Myanmar mengatakan operasi militer dilakukan untuk menargetkan militan Rohingya.
Gambia meminta pengadilan menjatuhkan 'tindakan sementara' untuk melindungi warga Rohingya di Myanmar dan di tempat lainnya, dari ancaman atau kekerasan lebih lanjut. Tindakan sementara ini nantinya akan mengikat secara hukum.