REPUBLIKA.CO.ID, FREETOWN — Pemerintah Sierra Leone mencabut kebijakan yang melarang para siswi dalam keadaan hamil untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar, serta ujian di sekolah. Keputusan ini datang setelah Pengadilan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (Ecowas) memerintahkan pencabutan dari aturan yang dianggap diskriminatif.
Kebijakan itu sebelumnya disebut telah membuat hak dari puluhan ribu siswi tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka. Hakim d pengadilan melihat bahwa aturan yang dibuat pada 2015 untuk melarang perempuan hamil bersekolah adalah sebuah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ecowas juga meminta Pemerintah Sierra Leone untuk membuat program nasional yang bertujuan membantu para siswi dalam keadaan hamil bisa kembali ke sekolah. Dalam sebuah pernyataan, organisasi Women Against Violence and Exploitation in Society (Waves) menyambut dengan sangat gembira keputusan pengadilan.
“Kemenangan ini milik seluruh perempuan di Sierra Leone yang telah mendapat perlakuan tidak manusiawi karena status mereka sejak 2014,” ujar direktur eksekutif Waves, Hannah Yambasu, dilansir The Guardian, Jumat (13/12).
Kehamilan di usia remaja menjadi salah satu masalah besar di Sierra Leone, di mana 30 persen persen dari mereka mengandung dan 40 persen diantaranya menikah di usia 18 tahun. Bahkan, pada 2014, saat Ebola mewabah di negara itu, banyak perempuan muda yang terlantar dan lonjakan kehamilan, tak sedikit yang disebabkan kekerasan seksual.
Ketika sekolah-sekolah kembali dibuka setelah situasi krisis karena Ebola sudah terkendali, Pemerintah Sierra Leone melarang para siswi yang dalam keadaan hamil untuk mengikuti kelas. Salah satu alasan utamanya adalah untuk melindungi anak-anak lain yang tidak mengalami hal itu.
Meski ada sekolah paralel untuk siswi yang hamil telah didirikan oleh pemerintah, Ecowas tetap memutuskan bahwa itu adalah bentuk diskriminasi lain. Hal itu karena para siswa hanya mendapat empat mata pelajaran selama tiga hari dalam sepekan.
“Sekolah paralel kurang optimal dan sepenuhnya membatasi untuk anak perempuan,” kata Judy Gitau, koordinator regional Afrika di Equality Now.
Kekerasan seksual menjadi kasus yang banyak terjadi di Sierra Leone. Menurut laporan polisi pada 2018, sebanyak 8.505 kasus pemerkosaan terjadi dan 2.579 diantaranya melibatkan anak di bawah umur. Meski demikian, para aktivis meyakini jumlah ini pada kenyataannya bisa jauh lebih tinggi karena korban tidak melapor.
Dalam putusan Ecowas, Pemerintah Sierra Leone harus mengintegrasikan kelas-kelas pendidikan seksual ke dalam kurikulum nasional untuk memerangi kehamilan remaja dan meningkatkan kesadaran seputar kontrasepsi. Sementara itu, pengacara hak asasi manusia Sabrina Mahtani, yang menulis laporan Amnesty International 2015 tentang larangan itu, mengatakan putusan ini memberi kesempatan bagi pemerintah untuk membuktikkan diri.
“Presiden Sierra leone, Julius Maada Bio telah terpilih dengan janji membawa arah baru bagi negara Kemudian ada Menteri Pendidikan David Sengeh yang saat ini memiliki kesempatan membalikkan larangan yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya dengan menghormati hak atas pendidikan dan non-diskriminasi seluruhnya,” ujar Mahtani.