Ahad 15 Dec 2019 08:47 WIB

Pemakan Bakteri dari Georgia untuk Melawan Resistensi Antibiotik

Apa yang harus kita lakukan ketika antibiotik tidak lagi efektif? Pasien dari seluruh dunia datang ke Georgia untuk mendapatkan perawatan dengan bakteriofag. Selain di Georgia, terapi bakteriofag juga berada di Belgia.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
DW/J. Jackson
DW/J. Jackson

Tanja Diederen tinggal di dekat kota Maastricht, Belanda. Dia menderita penyakit Hidradenitis Suppurativa selama 30 tahun. Ini adalah penyakit kulit kronis di mana akar rambut mengalami peradangan dan menimbulkan rasa sakit, seringnya di daerah sekitar ketiak dan dada.

Rp 62 juta untuk perawatan di Georgia

Pada Agustus 2019, Diederen yang sekarang berusia 50 tahun membuat keputusan penting. Ia menghentikan penggunaan antibiotik yang semakin tidak efektif. Lalu Diederen pergi ke Georgia selama dua minggu untuk menjalani pengobatan dengan menjalani terapi bakteriofag (disingkat fag).

Terapi fag yang dilakukan Diederen belum disetujui di sebagian besar negara-negara Eropa Barat. Ia harus merogoh kocek pribadi sebbesar € 3.900 atau senilai Rp 62 juta dengan harapan bahwa terapi tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya.

Bakteriofag adalah virus yang menyerang proliferasi bakteri inang mereka. Terapi ini menggunakan tipe fag tunggal yang diisolasi yang kemudian dikonsumsi secara oral. Untuk dapat bertahan hidup, fag kemudian menempel kepada sesama bakteri yang terdapat di dalam tubuh pasien.

Fag membalik polaritas bakteri yang ia hinggapi sedemikian rupa, sehingga memproduksi fag lebih banyak terus menerus hingga akhirnya si bakteri meledak. Kemudian, fag-fag yang dilepaskan menempel pada bakteri lain hingga pada akhirnya semua bakteri hancur.

Baca juga: Ancaman Maut Infeksi Nosokomial dengan Bakteri Multiresisten

Pergi ke Georgia

"Rasanya agak seperti jamur," terang Tanja Diederen ketika dia hendak mengkonsumsi fag di jadwal paginya. "Ketika saya pergi ke Georgia, perasaan saya campur aduk, gugup dan bersemangat. Di atas semua itu, saya sangat kecewa dengan perawatan di Belanda."

Setelah antibiotik tidak efektif bagi Diederan, dokternya kala itu menyarankan agar ia mengkonsumsi obat biofarmasi, yakni obat rekayasa genetika. Dia pun belum pernah mendengar tentang terapi bakteriofag.

Akhirnya, Diederen memutuskan untuk mencari pilihan pengobatan lain sendiri. Hingga ia memutuskan memilih terapi bakteriofag, yang dia ketahui dari sebuah program televisi.

Merasa lebih baik

Dia mendatangi Georgi-Eliava Institute di Georgia, yang telah meneliti bakteriofag sejak tahun 1923, hanya beberapa tahun setelah ditemukannya fag. Georgia kemudian berkembang menjadi pusat global terapi fag.

Selama Perang Dingin, antibiotik sangat sulit didapat dimana-mana. Pengobatan dengan fag adalah cara terbaik untuk menyembuhkan penyakit menular. Saat ini, Eliava Institute pun menjadi salah satu pusat terapi fag terbesar di dunia.

Tanja Diederen menjalani perawatan selama dua minggu, setelah itu ia kembali ke Belanda dengan membawa sebuah koper besar yang berisi penuh bakteriofag. Semenjak ia mengkonsumsi dua jenis fag berbeda setiap harinya, dan mengoleskan krim, Diederen pun merasa lebih baik.

Dia merasa energinya pulih dan radang kecil yang ada di dada dan ketiaknya semakin membaik. Peradangan besar kadang muncul dan hilang, tetapi tidak separah sebelum ia menjalani terapi ini.

"Tidak terasa ilegal bagi saya"

Setiap tiga bulan sekali Diederen pergi ke Belgia, 15 kilometer dari Maastricht, untuk mengambil jatah bakteriofag baru yang dikirim dari Georgia seharga 500 euro atau setara dengan 8 juta rupiah. Asuransi kesehatan Diederen tidak menanggung ini. Belgia adalah satu-satunya negara di Eropa Barat yang mengizinkan penggunaan fag. Di Belanda dan di semua negara lain, fag hanya dapat digunakan dalam kasus perseorangan untuk menyelamatkan nyawa atau meredakan rasa sakit yang begitu parah.

Baca juga:Bakteri Probiotik di Tinja Bayi Bisa Sembuhkan Diabetes

Terapis Diederen bertanggung jawab penuh atas hal ini.

"Tidak terasa ilegal bagi saya," kata Diederen. "Saya yakin seratus persen obat ini akan membantu banyak orang."

Seperti halnya antibiotik, bakteriofag juga dapat menyebabkan resistensi bakteri. Namun, keuntungannya yakni bakteriofag selalu selangkah lebih maju karena fag mampu melawan resistensi. Selain itu, fag selalu ditujukan untuk memusnahkan jenis bakteri tertentu. Dengan demikian, bakteri yang bermanfaat tidak akan ikut hancur, seperti contohnya bakteri baik di usus.

Sebelum perawatan dimulai, selalu perlu untuk mengetahui jenis bakteri yang memicu munculnya penyakit. Fag kemudian diproduksi secara individual untuk setiap pasien, seperti di Georgia.

Diizinkan di Belgia

Obat pribadi semacam ini tidak memenuhi persyaratan yang berlaku untuk produk obat di negara Eropa Barat mana pun. Akan dibutuhkan banyak upaya untuk mendapatkan izin formulasi fag individu agar disetujui oleh pihak yang berwenang.

Tidak demikian halnya di Belgia. Sejak tahun lalu, Scientific Health Institute, bekerja sama dengan dokter, pasien, produsen, apoteker, dan Kantor Federal Belgia untuk Produk Obat-obatan, secara legal memproses penerbitan sertifikat untuk bahan-bahan fag yang diperlukan. Apoteker kemudian dapat menggunakannya untuk memproduksi bakteriofag, sesuai dengan prosedur yang ada.

"Kami telah menggunakan landasan hukum yang ada untuk menggunakan bakteriofag," kata Dr. Jean-Paul Pirnay, yang bekerja di Rumah Sakit Militer Queen Astrid di Brussels, mengomentari terapi bakteriofag.

Sekitar 30 pasien sudah dirawat di rumah sakit tersebut. Saat ini, rumah sakit militer Queen Astrid adalah satu-satunya tempat di Belgia untuk memproduksi bakteriofag.

Baca juga: Peneliti Indonesia Menelisik Gen Bakteri Hingga Mendirikan Startup di Finlandia

Suplemen untuk antibiotik

"Kami membutuhkan perusahaan farmasi untuk memproduksi fag," kata Pirnay. "Rumah sakit tidak dapat menghasilkan semua fag dengan semakin banyaknya pasien."

Tetapi dalam memproduksi fag membutuhkan landasan hukum yang lebih jelas, sementara sejauh ini penelitian bakteriofag di sana belum siap.

"Saya percaya bahwa fag tidak akan menggantikan antibiotik," ungkapnya. "Keduanya akan digunakan bersama untuk membuat antibiotik lebih efektif."

Ke depan Tanja Diederen ingin terus melanjutkan perawatannya di Belgia. Diederen mengaku kesulitan dalam berkomunikasi dengan dokternya di Georgia, dia selalu membutuhkan bantuan penerjemah.

"Saya sangat berharap fag akan segera diizinkan di Eropa," katanya. "Pergi ke Georgia cukup sulit dan mahal."

Jerman dan Belanda saat ini tengah melakukan studi percontohan untuk melihat apakah penggunaan bakteriofag dimungkinkan. Prancis pun sudah mengimpor fag dari Belgia dan menyetujui penggunaannya dalam pengobatan.

rap/pkp

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement