REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Aksi protes menentang Undang-Undang Kewarganegaraan India yang dijuluki sebagai “Undang-Undang Anti-Muslim” terus meluas di seantero India. Selepas penyerangan ke Universitas Jamia Millia Islamia di Delhi pada Ahad (15/12) malam, kampus-kampus lain menggelar aksi serupa di berbagai wilayah di India.
Beleid yang diprotes itu berisi pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsis, dan Kristen dari tiga negara tetangga, yakni Bangladesh, Afghanistan, dan Pakistan, yang tiba di India sebelum 31 Desember 2014. Imigran Muslim dikecualikan dari regulasi itu dengan alasan mereka tak termasuk yang mendapatkan diskriminasi di tiga negara tersebut.
Kendati demikian, sejumlah kritikus menyoroti bahwa regulasi itu mengabaikan keberadaan Muslim yang mengungsi ke India untuk menghindari kekerasan di Myanmar dan Srilanka. Regulasi itu juga dinilai menyalahi konstitusi India yang menjamin hak warga negara terlepas dari agama yang mereka anut. Saat ini, jumlah Muslim di India sekitar 14 persen dari total penduduk India yang jumlahnya mencapai 1,3 miliar jiwa.
Sebagian mahasiswa Muslim dan umat Islam mulai melakukan aksi menentang regulasi baru tersebut pada Jumat (13/12). Selain itu, aksi protes juga terjadi di beberapa negara bagian timur India, seperti Assam, Tripura, dan Benggala Barat.
Warga di wilayah-wilayah itu, meski kebanyakan beragama Hindu, menolak regulasi karena khawatir kebanjiran pengungsi dari wilayah perbatasan. Hingga Senin (16/12), empat orang pengunjuk rasa ditembak mati polisi di Assam, seorang tewas karena terjebak dalam bangunan yang dibakar, dan seorang lagi dikeroyok massa.
Aksi yang dilakukan umat Islam dan mahasiswa Muslim mencapai klimaks pada Ahad (15/12) malam. Saat itu, puluhan anggota kepolisian menyerbu Universitas Jamia Millia Islamia di Delhi dan melakukan penganiayaan terhadap para mahasiswa serta menangkap mereka.
Khanzala, seorang mahasiswi universitas itu, menuturkan kepada agensi berita Press Trust of India (PTI) bahwa aksi berlangsung damai sejak Ahad (15/12) siang. “Kami di dalam kampus saat polisi merangsek. Ada 20 polisi masuk dari gerbang nomor 7 dan 50 datang dari gerbang belakang. Kami katakan tak terlibat kekerasan tapi tak didengar. Mereka tak memberi ampun, bahkan terhadap mahasiswi,” kata Khanzala yang terluka di bagian kaki dan perut, kemarin.
Reuters melaporkan, para pejabat di dua rumah sakit di sekitar Universitas Jamia Millia Islamia mengatakan, lebih dari 100 korban cedera telah dibawa ke rumah sakit. "Banyak dari mereka mengalami cedera patah tulang. Kami kehabisan plester untuk gips," ujar seorang pejabat Rumah Sakit Alshifa, Inamul Hassan. Sementara itu, juru bicara Holy Family Hospital mengatakan, mereka telah merawat 26 mahasiswa yang menderita luka ringan.
Polisi sebelumnya sempat berusaha menahan ribuan pengunjuk rasa, termasuk penduduk setempat dan mahasiswa yang berkumpul di dekat Universitas Jamia Millia Islamia. Bentrokan meletus dan pihak berwenang menyebut para demonstran membakar bus, mobil, dan sepeda motor.
Polisi menggunakan pentungan dan menembakkan gas air mata ke arah para demonstran. Seorang saksi mata mengatakan kepada Reuters, petugas menyerbu halaman kampus untuk menghalau para pengunjuk rasa yang berlarian ke arah kampus.
"Sekitar 4.000 orang memprotes dan polisi melakukan apa yang mereka lakukan untuk membubarkan mereka ketika massa membakar bus. Jika itu adalah aksi damai maka akan dibubarkan secara damai," ujar seorang perwira polisi, Chinmoy Biswal.
Lokesh Devraj, seorang desainer produk, menuturkan kepada the New York Times, ia keluar dari stasiun kereta pada Ahad petang saat segerombolan mahasiswa yang ketakutan berlari ke arahnya. Tak ada batu maupun tongkat di tangan para mahasiswa tersebut. Kendati demikian, aparat kepolisian mengejar mereka dengan menyabetkan tongkat membabi buta. Devraj bahkan sempat melindungi ayahnya dari sabetan tongkat polisi dan mendapatkan luka di tangan.
Tindak kekerasan polisi dikecam para mahasiswa dan pejabat kampus. Seorang mahasiswa, Tehreem Mirza, mengatakan, para mahasiswa berlindung di perpustakaan setelah polisi menembakkan gas air mata ke dalam kampus.
Pengunjukrasa penentang Revisi UU Kewarganegaraan India membawa poster menentang UU baru di Ahmadabad, India, Ahad (15/12)
Sementara, staf pengajar senior di Universitas Jamia Millia Islamia, Waseem Ahmed Khan, mengatakan, polisi memasuki kampus dengan paksa. “Polisi telah memasuki kampus dengan paksa, tidak ada izin yang diberikan. Staf dan mahasiswa kami dipukuli dan dipaksa untuk meninggalkan kampus,” ujar Khan. Pemerintah setempat memerintahkan semua sekolah di Delhi bagian tenggara ditutup pada Senin (16/12).
Pada Senin, sebanyak 50 mahasiswa yang ditangkap kemudian dibebaskan. Kendati demikian, simpati telanjur menjalar dan aksi-aksi serupa digelar di wilayah-wilayah lain, seperti Hyderabad, Lucknow, Mumbai, dan Kolkata.
PTI melaporkan, sejumlah mahasiswa Universitas Delhi memboikot ujian untuk menyatakan solidaritas. Di Kampus Nadwa di Lucknow, ratusan mahasiswa berunjuk rasa dan meneriakkan slogan-slogan. Di Universitas Maulana Azad Urdu di Hyderabad, mahasiswa juga menggelar aksi unjuk rasa dan meminta ujian mereka ditunda.
Tak hanya di kampus-kampus Islam, unjuk rasa juga dilakukan mahasiswa Universitas Hindu Banaras di Varanasi dan Universitas Jadavpur di Kolkata. “Pembubaran adalah kata yang terlalu kecil untuk menggambarkan yang terjadi di Jamia kemarin. Ini brutalitas yang sangat jelas. Video polisi menghancurkan sepeda dan memukuli mahasiswa tersebar di media sosial. Pemerintah harus bertanggung jawab, “kata salah seorang mahasiswa Universitas Hindu Banaras.
Mahasiswa dari Institus Ilmu Sosial Tata di Mumbai juga melakukan unjuk rasa mengecam tindakan polisi di Jamia. Demikian juga dengan mahasiswa dari Universitas Aliargh di Delhi serta Universitas Jawaharlal Nehru Delhi.
Pada Senin (16/12), pengacara senior India Indira Jasing secara resmi mengajukan gugatan kepada Mahkamah Agung India atas UU Antimuslim yang diprotes itu. Ia juga meminta Mahkamah Agung menyoroti kekerasan polisi di Jamia.
Polisi mengejar pengunjuk rasa penentang Revisi UU Kewarganegaraan India di New Delhi, India, Ahad (15/12)
Sebaliknya, Kepala Mahkamah Agung India SA Bobde meminta para mahasiswa menghentikan aksi unjuk rasa. “Jika kekerasan ini tidak dihentikan, kami tak akan memproses gugatan,” kata dia, seperti dilansir the Times of India, kemarin.
Perdana Menteri India Narendra Modi menyatakan, ia menyesalkan aksi-aksi unjuk rasa yang menurut dia memicu kekerasan. Ia menekankan, UU Kewarganegaraan yang baru bertujuan untuk mengukuhkan India sebagai negara yang melindungi mereka-mereka yang tertindas.
Modi naik tampuk di India sejak partainya, Bharatiya Janata Party (BJP), yang berakar dari gerakan nasionalisme Hindu memenangkan pemilu India pada 2013 lalu. Sepanjang kepemimpinan Modi, sejumlah regulasi yang dinilai menyudutkan Muslim India lahir. Di antaranya pengesahan lokasi masjid di Ayodhya sebagai kuil Rama serta diakhirinya otonomi Kashmir dan Jammu yang dihuni mayoritas Muslim. n rizky jaramaya, ed: fitriyan zamzami