Rabu 18 Dec 2019 01:00 WIB

Cina dan Rusia Minta PBB Cabut Sanksi Korut

Dua negara minta Korut diizinkan mengekspor produk tekstil dan makanan laut.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera Korea Utara.
Foto: Flickr
Bendera Korea Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- China dan Rusia telah mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB untuk mencabut sanksi terhadap Korea Utara (Korut). Kedua negara itu meminta agar Korut diizinkan mengekspor produk tekstil dan makanan lautnya.

Dalam draf rancangan resolusi yang sempat dilihat Reuters, China dan Rusia juga menyerukan agar larangan bagi warga Korut untuk bekerja di luar negeri dicabut. Moskow dan Beijing turut menginginkan agar proyek-proyek kerja sama kereta api serta jalan antar-Korea terbebas dari sanksi PBB.

Baca Juga

Rusia dan China menyatakan pencabutan sanksi-sanksi tersebut bertujuan mendorong kelanjutan dialog serta negosiasi antara Korut dan Amerika Serikat (AS). Belum ada keterangan tentang kapan atau apakah rancangan resolusi tersebut dapat dibawa menuju proses pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB.

Untuk meloloskan sebuah resolusi, dibutuhkan minimal sembilan suara mendukung. Selain itu tak boleh ada veto dari lima anggota tetap Dewan Keamanan, yaitu AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan China.

"Kami tidak terburu-buru," ungkap Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia seraya menambahkan bahwa negosiasi tentang rancangan resolusi pencabutan sanksi Korut akan dibahas dengan anggota Dewan Keamanan pada Selasa (17/12).

Dia menegaskan bahwa pencabutan sanksi-sanksi itu tidak terkait langsung dengan program rudal atau nuklir Korut. "Ini adalah masalah kemanusiaan," ujarnya.

Di sisi lain, pencabutan sanksi diharapkan dapat memajukan proses pembicaraan denuklirisasi antara AS dan Korut. "Itulah keseluruhan gagasannya, meskipun kami tidak melakukan resolusi ini, kami benar-benar ingin memfasilitasi," kata Nebenzia.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan sekarang bukan waktu yang tepat bagi Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan pencabutan sanksi Korut. Sebab hingga kini Korut masih melakukan ancaman dan provokasi serta menolak membicarakan masalah denuklirisasi.

AS, Inggris, dan Prancis telah berulang kali menegaskan bahwa sanksi terhadap Korut tidak akan dicabut. Kecuali negara itu telah melakukan denuklrisasi menyeluruh, lengkap, dan terverifkasi.

Sementara, China dan Rusia menilai Dewan Keamanan harus memberi penghargaan kepada pemimpin Korut Kim Jong-un karena telah menunjukkan kesediaan untuk menghentikan semua aktivitas uji coba rudal serta nuklirnya. Penghargaan itu dapat diwujudkan, salah satunya dengan pencabutan sanksi.

Penerapan sanksi PBB memang telah menyebabkan perekonomian Korut goyah. Negara itu diketahui memperoleh penghasilan terbesar dari ekspor batu bara, produk tekstil, dan makanan laut.

Menurut data Korea Trade-Investment Promotion Agency (KOTRA), pada 2016, Korut memperoleh 752 juta dolar AS dari ekspor tekstil. Hampir 80 persen produk tekstil tersebut dikirim ke China. Negeri Tirai Bambu juga diketahui sebagai konsumen utama batu bara Korut.

Seorang diplomat PBB mengungkapkan, Korut pun menghasilkan ratusan juta dolar dari hasil lautnya. Pada 2017, Pyongyang disebut mendapatkan 295 juta dolar AS dari kegiatan ekspor makanan laut.

Sanksi terhadap sektor-sektor itu pula yang menjadi sandungan dalam negosiasi antara Korut dan AS. Kedua negara belum dapat saling mencairkan diri. Korut, yang telah menutup beberapa situs uji coba rudal dan nuklirnya, meminta AS mencabut sebagian sanksi ekonominya.

Namun, Washington menolak mengabulkannya. AS menyatakan tak akan mencabut sanksi apa pun kecuali Korut telah melakukan denuklirisasi menyeluruh dan terverifikasi. Saat ini perundingan denuklirisasi antara kedua negara sedang terhenti. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement