REPUBLIKA.CO.ID, Untuk bisa sampai ke posisi yang dimiliki sekarang, bisa dibilang jalannya sudah ia rintis sejak masih kecil. Ketika berumur 11 tahun ia kerap berjualan koran di pagi hari, sebelum sekolah di siang harinya.
Ia kerap melihat orang asing di stasiun bus di kota asalnya, Medan. "Saya kerap punya keinginan untuk berkomunikasi dengan mereka."
Ketika ia SMP dan mulai belajar bahasa Inggris, ia berusaha agar bisa berbicara bahasa Inggris sefasih mungkin, sehingga bisa berkomunikasi dengan orang asing. Sejak itu ia selalu memelihara pengetahuannya sehingga bisa berbahasa Inggris dengan baik hingga sekarang.
Bertolak ke Jerman
Bertahun-tahun kemudian ketika bekerja di Bali, ia mendapat informasi bahwa Goethe Institut membuka kesempatan untuk mendapat beasiswa bagi yang tertarik menimba pendidikan lanjutan di Jerman. Ia kemudian melamar, dan diterima.
Bersama 11 orang lainnya, ia bertolak ke Jerman, ke kota Bonn. Ia bercerita sambil tersenyum, bahwa semua merasa kaget ketika tiba di Jerman, karena saat itu musim dingin, dan suhu di luar hanya -2° Celcius.
Seminggu setelahnya mereka memulai pendidikan bahasa. Dengan lirih ia berkata, "Bahasa Jerman itu sulit...." Matanya menerawang seperti mengenang pengalaman yang lalu. Dari 12 orang yang bertolak ke Jerman, hanya tiga orang yang bisa melanjutkan pendidikan, demikian tuturnya.
Dan dari tiga yang lulus bahasa Jerman, hanya Glen yang melanjutkan ke tingkat selanjutnya, yaitu Studienkolleg. Institusi itu berfungsi antara lain untuk melihat bidang mana yang akan diambil calon mahasiswa di jenjang berikutnya di universitas. Dan sekarang ia sudah hidup dan berkarya di Jerman selama 20 tahun.
Berkarier di Deutsche Bahn
"Awalnya itu spontan," katanya ketika ditanya bagaimana awalnya ia bekerja di perusahaan kereta api Jerman, Deutsche Bahn. Ia bercerita, suatu waktu ia beruntung mendapat tiket yang dikorting untuk perjalanan di kelas 1 dalam kereta super cepat ICE (Inter City Express). Rutenya dari kota Köln ke pelabuhan udara Frankfurt. Waktu itu ia dalam perjalanan pulang ke Indonesia.
Rösrath, kota kecil di sebelah timur Köln ini adalah tempat tinggal Glen Mohlberg
Di kereta ia menyadari bahwa kelas 1 di ICE memiliki pramugara dan "service on board". Mereka melayani kebutuhan para penumpang. Ia kemudian mendapat ide melamar ke Deutsche Bahn.
Setelah kembali dari pulang kampung, ia menyerahkan surat lamaran ke kantor HRD (Human Resource Department) Deutsche Bahn. Ia menambahkan sambil tersenyum, "Saya mengantarkan sendiri lamarannya," dan menambahkan, itu memberikan kesan baik di Jerman. Siapa nyana, ia diterima bekerja sebagai pramugara kelas 1 di kereta super cepat ICE.
Setelah bekerja lima tahun sebagai pramugara kelas 1 ICE, atasannya melihat bahwa ia pekerja yang rajin dan berdedikasi, dan ia ditawari untuk melamar posisi yang lebih tinggi. Untuk itu ia harus melalui pendidikan tambahan, tetapi latar pendidikannya yang dari pendidikan ekonomi, serta perdagangan ekspor impor menyokong kesuksesan untuk mendapat posisi kepala restoran di kereta ICE.
Sebagai orang yang bekerja di kereta, jadwal kerjanya menyebabkan ia sering tidak di rumah, katanya. Jika di rumah ia sibuk mengurus hewan peliharaannya. Ia punya dua anjing yang kerap diajaknya berjalan-jalan di kawasan hutan di kota Rösrath.
Selain itu, ia juga punya beberapa ekor kura-kura. Jika tidak di rumah, hewan peliharaannya dititipkan di tetangga, yang juga punya hewan peliharaan. Demikian juga sebaliknya, jika tetangganya yang tidak di rumah, ia yang menjaga hewan-hewan tetangganya. Di samping itu, Glen senang bernyanyi, dan ikut menyanyi di paduan suara. (Ed.: ap)