Rabu 18 Dec 2019 07:55 WIB

Warga Inggris tak Mau Naik Pesawat untuk Atasi Krisis Iklim

Alasan tak mau naik pesawat karena penerbangan menyumbang 2 persen emisi C02.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Pesawat terbang (Ilustrasi)
Foto: VOA
Pesawat terbang (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebanyak 24 kereta, perjalanan ke sembilan negara, dengan jarak 13.500 mil adalah angka di balik perjalanan kereta api yang dijalani Roger Tyers (37 tahun) dari Southampton, Inggris menuju China bagian timur. Dia menghabiskan 2.500 dolar AS, dan satu bulan di kereta, hampir tiga kali lipat biaya penerbangan kembali.

Dia melakukan perjalanan ke kota pelabuhan China Ningbo untuk penelitian akademiknya. Menurutnya, hal itu dilakukan karena krisis iklim, bukan karena kecintaannya akan kereta api.

Baca Juga

Tyres mengatakan kepada CNN, bahwa ia merasa harus berhenti naik pesawat terbang ketika para pakar iklim PBB tahun lalu memperingatkan bahwa dunia memiliki kurang dari 11 tahun untuk menghindari tingkat pemanasan global yang sangat dahsyat.

Tyers menghitung bahwa perjalanan kereta ke China menghasilkan hampir 90 persen lebih sedikit emisi daripada penerbangan. "Sulit untuk memahami bagaimana polusi perjalanan udara dan jumlah energi dan minyak tanah yang diperlukan untuk membuat mengudara dan membuat mereka melintasi planet ini," katanya.

Tyers bukanlah satu-satunya orang yang menghindari perjalanan udara dalam menanggapi perubahan iklim. Ribuan orang di seluruh dunia secara terbuka telah berjanji untuk berhenti mengguakan pesawat terbang, termasuk aktivis remaja Greta Thunberg, yang telah menginspirasi protes iklim kaum muda di seluruh dunia.

Dilansir CNN, mereka mengatakan, tidak ada pembenaran untuk terbang di dunia, di mana pemerintah telah mengumumkan keadaan darurat iklim. Selain itu, para ilmuwan telah memperingatkan dampak buruk pemanasan global terhadap kesehatan manusia dan masa depan spesies yang tak terhitung jumlahnya.

Aktivis iklim Maja Rosen meluncurkan petisi "Flight Free" di Swedia pada 2018 dengan tujuan mendorong 100 ribu orang untuk tak terbang selama satu tahun. Meski hanya sekitar 14 ribu orang menandatangani petisi tersebut, Rosen mengatakan, kampanye-nya telah membuat lebih banyak orang sadar akan urgensi krisis iklim dan memotivasi dalam melakukan perjalanan dengan kereta api.

Kampanye itu memicu gelombang unggahan di media sosial yang menunjukkan orang-orang bepergian dengan kereta api, disertai dengan tagar #flygskam dan # tagskryt, yang berarti "rasa malu penerbangan" dan "kereta membual" di Swedia.

Menurut sebuah survei yang dirilis pada Mei 2019 oleh Swedish Railways (SJ), 37 persen responden memilih untuk bepergian dengan kereta api dibandingkan dengan 20 persen pada awal 2018. Seorang juru bicara SJ mengatakan, perjalanan kereta api melonjak berkat ketakutan iklim.

"Jumlah penumpang domestik pada bulan Juli turun 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya," menurut Swedavia, sebuah perusahaan yang mengoperasikan 10 bandara tersibuk di Swedia.

Rosen, yang berhenti terbang 12 tahun yang lalu, mengatakan janji kolektif itu membantu memerangi rasa keputusasaan yang dirasakan banyak orang untuk mengatasi perubahan iklim. "Salah satu masalah adalah bahwa orang merasa tidak ada gunanya dalam apa yang Anda lakukan sebagai individu. Kampanye ini adalah untuk membuat orang sadar bahwa jika kita melakukan ini bersama, kita benar-benar dapat membuat perbedaan besar, "katanya.

Jejak penumpang dari penerbangan individu tergantung pada sejumlah faktor, termasuk seberapa jauh para penumpang terbang dan seberapa penuh pesawat itu. Namun juga pada kelas apa yang ditempuh. Penumpang kelas satu diberi lebih banyak ruang daripada penumpang ekonomi, artinya mereka bertanggung jawab atas proporsi yang lebih besar dari emisi pesawat.

Emisi dari perjalanan kereta api juga tergantung pada banyak faktor, termasuk bagaimana kereta berjalan. Semisal, kereta listrik yang ditenagai oleh energi bersih akan memiliki emisi yang jauh lebih rendah daripada kereta bertenaga diesel.

CNN mencatat, industri penerbangan menyumbang 2 persen dari emisi karbondioksida buatan manusia (CO2). Pada 2050, angka itu diperkirakan akan meningkat hingga 22 persen jika tidak ada perubahan.

Jika dianalogikan, menurut Komisi Eropa, seorang penumpang dalam penerbangan balik dari London ke New York menghasilkan CO2 sebanyak yang dilakukan orang rata-rata di Uni Eropa dengan memanaskan rumah mereka setiap tahun. Menurut Grantham Research Institute on Climate Change, banyak maskapai penerbangan melakukan terlalu sedikit dalam hal menurunkan emisinya dan masih belum jelas apa strategi jangka panjang mereka.

International Air Transport Association (IATA), sebuah organisasi perdagangan 290 maskapai, telah menetapkan target 2050 untuk mengurangi emisinya hingga setengah dari tingkat 2005. "Ini adalah tugas yang sulit karena industri masih berkembang, tetapi kami yakin itu dapat dicapai," kata seorang juru bicara IATA kepada CNN.

Pihaknya mengatakan, industri itu berencana untuk menggunakan kombinasi bahan bakar penerbangan berkelanjutan, langkah-langkah efisiensi, dan teknologi baru, seperti pesawat hibrida dan listrik, untuk memangkas emisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement