REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin meminta Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) terbuka kepada masyarakat internasional terkait masalah Uighur. Hal tersebut untuk menjawab tudingan bahwa pemerintah Cina melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada masyarakat Muslim di Uighur, termasuk isu penahanan anggota etnis Uighur dalam kamp reedukasi di Xinjiang.
"Kita minta lebih terbuka, Cina lebih terbuka, dan Cina telah memberikan alasannya bahwa kamp-kamp itu bukan untuk indoktrinasi, tapi semacam pelatihan itu kata dia, kita minta lebih terbuka lah," ujar KH Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (17/12).
Menurut Wapres, tertutupnya Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur menimbulkan spekulasi masyarakat di dunia terhadap kondisi di Uighur. Sementara, pemerintah Indonesia, kata KH Ma’ruf, konsisten mendukung upaya perlindungan masyarakat Muslim Uighur.
"Kalau pemerintah kan memang konsisten kalau soal perlindungan hak asasi manusia, kita akan mendukung upaya-upaya perlindungan dan juga mengajak semua negara, termasuk cina, untuk melindungi hak asasi manusia. Jadi, saya kira arahnya ke sana," kata KH Ma'ruf.
KH Ma'ruf juga angkat bicara soal tudingan bahwa ormas Islam Indonesia tak kritis terhadap kondisi masyarakat Uighur di Xinjiang. Hal itu diindikasikan media Amerika Serikat Wall Street Journal (WSJ) pada 11 Desember dalam artikel dengan judul “How China Persuaded One Muslim Nation To Keep Silent on Xinjiang Camps”.
Dalam artikel itu, WSJ mula-mula memaparkan soal kencangnya suara sejumlah pihak di Tanah Air terkait isu penahanan jutaan anggota etnis Uighur dalam kamp reedukasi di Xinjiang, tetapi kemudian berubah karena rayuan Pemerintah Cina.
KH Ma'ruf mengungkap, tudingan tersebut sudah dibantah oleh ormas-ormas Islam. "Kalau ormas Islam kan sudah ada bantahan dari masing masing ormas Islam bahwa itu tidak benar. Saya kira yang membantah ormas Islam saja," ujar Kiai Ma'ruf. Hal yang paling penting, kata dia, tudingan itu tidak dikaitkan dengan kebijakan pemerintah.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi juga menyatakan telah melakukan pertemuan dengan Menlu Cina Wang Yi di sela-sela pertemuan Asia Europe Meeting Foreign Minister Meeting (ASEM FMM) yang ke-14 di Madrid, Spanyol, Senin (16/12) waktu setempat. Pada akhir pembicaraan, Retno menyinggung soal Muslim Uighur di Xinjiang.
Dalam lansiran yang diterima Republika, pada akhir pertemuan Retno meminta informasi mengenai perkembangan situasi di Xinjiang. Wang Yi kemudian menegaskan komitmennya bahwa kebebasan beragama umat Islam di Xinjiang dijamin oleh negara.
China jalankan 500 kamp penahanan Uighur.
Diplomasi
Sementara itu, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi, KH Masduki Baidlowi, menuturkan, Pemerintah Indonesia bakal menekan Cina agar memperhatikan hak-hak warga Muslim Uighur. Tekanan kepada Cina ini dilakukan dengan tetap menghormati urusan dalam negeri masing-masing.
"Kita akan memberikan tekanan diplomasi dengan Cina supaya memperhatikan hak-hak warga Muslim Uighur di Cina, dengan tetap saling menghormati prinsip diplomasi antara Indonesia dan Cina, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing," kata dia di kantor Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Selasa (17/12).
Masduki mengakui, antara Indonesia dan Cina selama ini telah terjalin hubungan yang baik, misalnya pada beberapa sektor. "Makanya, tekanan diplomasi yang akan diberikan ini dengan tetap menghargai hak masing-masing," ujar dia.
Masduki meyakini, tekanan yang diberikan kepada Cina soal nasib Muslim Uighur itu tidak akan berdampak buruk terhadap hubungan kedua negara. "Enggak, enggak, kita kan tetap menjaga hubungan baik, sama halnya dengan Pemerintah Indonesia dengan ASEAN itu kan saling tidak mengganggu, prinsip-prinsip itu yang dipakai," tuturnya.
Karena itu, Masduki mengatakan, tekanan kepada Cina ini harus fokus pada pemberian hak Muslim Uighur. Dia menambahkan, Cina dengan kewenangan yang dimilikinya harus mengupayakan supaya Muslim Uighur mendapatkan hak-haknya.
Kendati demikian, Masduki menyadari Pemerintah Cina memiliki persoalan dengan Uighur terkait separatisme sehingga ada perlakuan khusus kepada mereka. "Kami juga memahami Xinjiang memang punya problem khusus dengan Tiongkok karena ada separatis. Kayak kita menghadapi separatisme di Papua, otomatis macam-macam kan, ada perlakuan khusus kan. Begitu juga di sana," kata dia.
Masduki Baidlowi yang juga merupakan wasekjen PB Nahdlatul Ulama itu juga memberi tanggapan soal pemberitaan Wall Street Journal. "Tuduhan dari WSJ itu salah ya, saya kira tidak cover bothside ya, dan hanya menuduh. Makanya, banyak orang berpikiran tulisan WSJ itu sebagai bagian dari proxy war, perang dagang antara Cina dan Amerika, jadi orang memperkirakan seperti itu," ujar dia.
Masduki termasuk salah satu dari rombongan dari Indonesia yang ikut ke Xinjiang, Cina, pada Februari lalu. Rombongan tersebut dari kalangan pengurus MUI dan ormas Islam, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dia menjelaskan, mereka datang ke sana memang atas undangan Cina.
Meski begitu, Masduki mengatakan, tetap ada catatan kritis terhadap Cina saat itu. "Kami datang lalu memberi catatan-catatan kritis dari undangan itu. Salah satunya bahwa kami ingin masyarakat Islam di Xinjiang mendapatkan hak-haknya," kata dia. n fauziah mursid/umar mukhtar, ed: fitriyan zamzami