REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Mahkamah Agung (MA) India menunda permohonan terhadap penolakan Undang-Undang Kewarganegaraan. Mahkamah Agung menyatakan akan mempertimbangkan permohonan pada 22 Januari 2020.
Mejelis Tinggi India atau Rajya Sabha mengesahkan Amandemen Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan. Undang-undang ini berisi perubahan besar pada hukum kewarganegaraan India dengan memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsis, dan Kristen dari tiga negara tetangga. Tiga negara itu yakni Bangladesh, Afghanistan, dan Pakistan.
Pengesahan undang-undang tersebut menuai protes di sejumlah negara bagian di India. Para demonstran menyerukan undang-undang itu merupakan upaya pemerintah nasionalis Hindu untuk menyingkirkan umat Muslim.
"Kami tetap ingin permohonan penolakan Undang-Undang Kewarganegaraan terus berlanjut," ujar seorang pengacara yang menentang undang-undang itu, Kapil Sibal.
Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan, undang-undang itu bertujuan untuk mengatasi penganiayaan terhadap minoritas seperti Hindu, Sikh, dan Kristen di negara-negara mayoritas Muslim. Menteri Dalam Negeri India Amit Shah mengatakan umat Muslim di India tidak perlu khawatir dengan pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut. Karena, status kewarganegaraan mereka tidak akan dicabut.
Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan dikecualikan dari undang-undang karena mereka tidak menghadapi diskriminasi di negara-negara itu. Para pengunjuk rasa menyatakan pengecualian Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan menunjukkan ada bias yang kuat terhadap komunitas tertentu. Apalagi, jumlah Muslim di India mencapai 14 persen dari populasi dan terbesar ketiga di dunia.
Pengesahan RUU itu merupakan janji yang telah disampaikan oleh pemerintahan Modi sejak dia terpilih kembali pada Mei. Dia berjanji akan memberikan kembali energi baru kepada basis nasionalisnya yakni basis dukungan Hindu dan menarik perhatian dari ekonomi yang sedang lesu.
Para kritikus menyatakan undang-undang yang diajukan oleh partai nasionalis Hindu yang berkuasa Bharatiya Janata Party (BJP) dapat merusak konstitusi negara. Sementara partai-partai oposisi, kelompok minoritas, akademisi, dan panel federasi Amerika Serikat (AS) menyebut undang-undang kewarganegaraan merupakan bentuk diskriminasi terhadap Muslim.
Ahli hukum konstitusi dan wakil rektor di NALSAR University of Law di Hyderabad, Faizan Mustafa, mengatakan Undang-Undang Kewarganegaraan bertentangan dengan konstitusi negara. Menurutnya, pengesahan undang-undang itu merupakan tindakan sewenang-wenang karena tidak mencakup semua kalangan dan minoritas.