Jumat 20 Dec 2019 03:03 WIB

Tak Seindah Yang Dibayangkan, Kabut Tebal Merundung Bisnis Ganja

Pesatnya bisnis ganja dalam beberapa tahun terakhir terbukti memabukkan banyak investor. Namun kini neraca perdagangannya buruk dan harga sahamnya pun anjlok.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/AP Images/R. Vogel
picture-alliance/AP Images/R. Vogel

Dulu, mereka yang berinvestasi dalam stok ganja merasa seperti penambang emas. Tahun 2013, jika Anda menanamkan modal sekitar 1.000 dolar Kanada (setara Rp 10.622.000) ke perusahaan produsen ganja terbesar dunia Canopy Growth, yang saat itu relatif tidak dikenal, mungkin Anda hari ini akan menjadi 2,2 juta dolar AS (hampir Rp 31 miliar) lebih kaya.

Ketika itu banyak analis meyakini bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Beberapa orang juga memperkirakan bisnis ganja akan tumbuh hingga 200 miliar dolar AS hingga dekade berikutnya.

Tetapi kenyataan berkata lain. Pada Oktober 2019, pasar telah kehilangan nilai setidaknya 35 miliar dolar AS sejak Maret dan salah satu perusahaan ganja, Aurora Cannabis, mengalami kerugian yang telak.

Saham produsen Kanada itu telah anjlok 60 persen selama beberapa bulan terakhir. Keuntungan tahun lalu, di mana beberapa saham naik 400 persen dalam sebulan, sekarang hanya tinggal kenangan.

Transisi 'brutal dan cepat'

Pada November 2019, Canopy Growth kembali gagal memenuhi harapan di kuartal kedua fiskal. Beberapa analis Wall Street menyebut kerugiannya hampir mencapai 375 juta dolar Kanada.

Pesaingnya, Tilray dan MedMen, bermain sedikit lebih baik, tetapi tidak banyak. Kedua perusahaan masing-masing kehilangan 50 dolar AS dan 25 juta dolar AS selama tiga bulan terakhir.

Euforia penggemar ganja sebenarnya dibayangi masalah seputar persetujuan, karena tanaman ini masih diperlakukan sebagai obat ilegal dan penggunaannya terbatas di beberapa wilayah. Hanya seperlima dari semua negara bagian Amerika, misalnya, memungkinkan penggunaan ganja sebagai kegiatan rekreasi dan tidak untuk keperluan medis.

Di Pantai Timur AS, New York, New Jersey, dan Connecticut masih berada di persimpangan jalan. Di ketiga negara bagian tersebut, undang-undang yang mengizinkan konsumsi ganja secara nonmedis sejauh ini telah ditolak.

Harga tinggi mendorong terciptanya pasar gelap

Pajak yang tinggi tidak mendukung penjualan ganja legal. Beberapa negara bagian mengenakan tarif 45 persen. Banyak konsumen tidak mampu atau tidak ingin membayar harga yang terlalu tinggi, sehingga pasar gelap tetap ada.

"Mengapa seseorang menghabiskan 20 dolar AS untuk ganja padahal kamu bisa mendapatkan yang sama di jalan seharga 2 dolar AS?" kata Alan Valdes, mitra senior di bank investasi Silverbear Capital.

Keberhasilan perdana industri ganja

Industri ini dipimpin oleh Canopy Growth, yang sekarang ingin melakukan inovasi dengan menggaet rapper asal Kanada, Drake dalam menghasilkan aneka ragam produk ganja, seperti permen ganja yang akan diproduksi di pabrik tua milik cokelat Hershey, dan minuman ganja yang juga masuk dalam perencanaan.

Investor Valdes yakin dibutuhkan beberapa bulan sebelum pasar saham ganja berpeluang bangkit kembali atau rebound. Industri ganja diperkirakan kembali tumbuh usai pemilu AS tahun depan, asalkan Donald Trump memenangkan pertarungan dan untuk kedua kalinya menjabat Presiden AS.

"Tetap saja, Trump adalah pebisnis," kata Valdes. "Jika dia bisa mengenakan pajak pada ganja, dia akan melakukannya." (Sabrina Kessler) ha/hp

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement