Mahkamah Agung India pada hari Rabu (18/12) menolak banding keempat pria yang terlibat dalam kasus pemerkosaan bus di New Delhi tahun 2012 dan membenarkan hukuman mati untuk kejahatan tersebut. Namun, para terdakwa masih dapat mengajukan petisi ke pengadilan untuk memeriksa kembali keputusan tersebut. Mereka juga dapat memohon belas kasihan dari Presiden India.
Gadis 23 tahun di negara bagian Uttar Pradesh, India utara itu sedang dalam perjalanan untuk hadir di pengadilan. Namun di perjalanan, sekelompok pria menyerang, menyiram dengan bensin, dan membakarnya. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan brutal terhadap seorang mahasiswi fisioterapi berusia 23 tahun ini lantas menjadi berita utama internasional dan memicu protes di seluruh India.
Kejahatan terhadap perempuan telah meningkat di negara Asia Selatan. Pada bulan November, seorang dokter hewan berusia 27 tahun di kota Hyderabad selatan diperkosa dan dibakar, sehingga memicu protes besar di seluruh negeri.
Kemudian pada Januari tahun lalu, seorang gadis berusia 8 tahun di Jammu dan Kashmir secara brutal diperkosa dan dibunuh. Gadis Muslim itu diduga diculik, dikurung menggunakan obat penenang dan berulang kali diperkosa geng di sebuah kuil. Ia dicekik dan kemudian dipukul dengan batu besar.
Berdasarkan laporan terbaru, polisi India mencatat 33.658 kasus pemerkosaan pada 2017. Para ahli mengatakan bahwa setiap 16 menit, seorang perempuan diperkosa.
Dengan demikian India mendapat julukan "negara paling berbahaya bagi perempuan" oleh banyak aktivis hak asasi manusia. Tetapi mengapa India sangat rentan terhadap kejahatan berbasis gender?
Celah hukum dan kondisi sosial
"Pemerkosaan adalah pelanggaran yang tidak dapat dikenakan hukum pidana India," kata Anuja Trehan Kapur, seorang psikolog kriminal yang berbasis di New Delhi, kepada DW. Kapur telah membantu pejabat pemerintah dalam kasus-kasus kriminal terkenal, termasuk pemerkosaan geng 2012.
"Tetapi orang-orang mendapatkan jaminan karena kurangnya bukti [dalam banyak kasus]. Terdakwa sering kali dilindungi oleh polisi, atau politisi, atau bahkan pengacara," tambah Kapur.
Beberapa peneliti mengatakan masalah pemerkosaan di India bukan hanya masalah hukum, tetapi juga aspek sosial.
"Kami memiliki masyarakat yang masih sangat patriarki di India, lebih mementingkan laki-laki. Perempuan biasanya dianggap warga negara kelas dua," ujar Dr Shruti Kapoor, seorang aktivis feminis dan pendiri organisasi Sayfty Trust, menekankan.
"Anak-anak menginternalisasi nilai ini pada usia yang sangat muda. Keinginan dan pendapat seorang gadis tidak dianggap sama pentingnya dengan anak laki-laki. Anak perempuan belajar untuk tunduk dari awal," tambah Kapoor.
Para ahli menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak gadis dan perempuan biasanya terjadi di sekitar mereka. Menurut data Biro Catatan Kejahatan Nasional dari 2017, 93 pesen dari semua perkosaan di India dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Ini bisa berupa anggota keluarga, teman, tetangga, majikan, dan bahkan teman online.
Budaya kekerasan
Equal Community Foundation yang berbasis di Pune melibatkan remaja laki-laki dari rumah tangga berpenghasilan rendah dalam isu gender. "Sebagian besar anak lelaki ini percaya bahwa anak perempuan dengan pakaian barat tidak bermoral, dan bahwa mereka dapat dilecehkan karena mereka memintanya," kata Pravin Katke dan Rahul Kusurkar dari organisasi.
Organisasi ini memberi para remaja laki-laki platform untuk berdialog dengan gadis-gadis dari komunitas mereka sendiri, karena mereka berharap bahwa dengan berinteraksi dengan anak perempuan dan mendengarkan sudut pandang mereka, anak laki-laki itu bisa peka terhadap gender.
Katke dan Kusurkar prihatin dengan kasus pemerkosaan yang berulang, tidak hanya di India tetapi di seluruh dunia. "Kami percaya bahwa laki-laki dan anak laki-laki tidak secara alami melakukan kekerasan, norma-norma patriarki membuat mereka tidak sensitif. Karena itu, manusia dapat menjadi bagian dari masalah, tetapi juga dapat menjadi bagian dari solusi," kata mereka.
Kasus pemerkosaan yang berulang telah membuat banyak orang India marah, dan saat ini menuntut hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan. Beberapa orang bahkan mendesak pihak berwenang untuk secara terbuka menerapkan hukuman gantung bagi para pelakunya. Para ahli mengatakan bahwa ini juga menunjukkan peningkatan kecenderungan kekerasan di negara ini.
Pada 6 Desember 2019, polisi menembak keempat terdakwa kasus pemerkosaan Hyderabad di luar pengadilan. Banyak orang India memuji petugas polisi karena memberikan "keadilan". Video di media sosial menunjukkan perempuan di kota Hyderabad berbagi permen dan merayakan pembunuhan.
Analis berpandangan bahwa tingkat hukuman yang rendah dan kelemahan dalam sistem peradilan negara memberi jalan bagi praktik main hakim sendiri. Meskipun pemerintah telah menggandakan hukuman penjara untuk pemerkosa menjadi 20 tahun, aktivis masyarakat sipil terus menuntut implementasi undang-undang yang lebih cepat.
"Orang-orang sering mengatakan bahwa hukum yang keras dapat membawa perubahan. Tapi apa itu hukum yang keras? Hukum harus efektif, dan lembaga investigasi dan penuntutan lebih mahir dan efisien," Seema Misra, seorang pengacara, mengatakan kepada DW. ha/hp